Skip to main content

Assange sebagai 'Social Capital'

Assange dan orang-orang di belakangnya dan siapa saja yang berani mengungkap borok-borok pemerintah mestinya dianggap sebagai social capital, maka dari itu perlu kita dukung. 

Social capital bisa diartikan sebagai kekuatan yang dimiliki masyarakat yang dapat meningkatkan kehidupan masyarakat yang lebih baik. Misalnya, kesehatan. Jika masyarakat sehat, mereka akan produktif bekerja yang dapat menguntungkan perusahaan dan mereka sendiri. Mereka akan mendapatkan uang yang pantas mereka terima. Jika masyarakat sakit, mereka tidak bekerja, perusahaan rugi. Mereka juga perlu mengeluarkan uang untuk biaya berobat. 

Pembocor rahasia negara, bisa dipertimbangkan sebagai social capital juga. Asal saja rahasia yang dibongkar bukan yang sifatnya membahayakan negara itu sendiri. Melainkan rahasia yang dibuat untuk menutupi peristiwa-peristiwa korupsi dan kemanusiaan, yang karena untuk melindungi para pelakunya yang umumnya orang penting, berkuasa, dan kaya.

Kita tahu, banyak perkara yang terjadi di tanah air yang merugikan rakyat bahkan negara, berakhir dengan ketidakjelasan. Kita punya kasus Lubang Buaya yang buram, Tanjung Priok yang mengecewakan, Trisakti yang tidak jelas, Munir yang menggeramkan, Gayus yang mencengangkan, Century yang memalukan, ... 

Keahlian Assange dan timnya membongkar kawat-kawat rahasia negara yang berisi intrik dan rekayasa, mestinya ditiru oleh hacker tanah air. Bertindak sebagai Robin Hood, bukan untuk mengacaukan tapi justeru membela hak kemanusiaan. Termasuk tidak menjadikan penghilangan kasus-kasus penting sebagai bagian dari kebiasaan para penguasa.

Militer, kepolisian BIN, DPR, dan pengadilan adalah pilar-pilar organisasi yang selama ini justeru menutup kuat berbagai pelanggaran demokrasi dan hak azasi. Dengan berbagai alasan kepentingan, mereka ikut berkonspirasi untuk melegalkan pembiusan kebenaran. Mereka menjadi penjahat bagi bangsa sendiri.

Assange adalah pintu demokrasi dunia sebenar-benarnya. Namun bukan berarti kita harus setuju dengan segala yang ia lakukan. Kita hanya perlu orang-orang nakal yang berani 'mencuri' data rahasia intrik petinggi yang membuat perkara-perkara korupsi dan kemanusiaan terbongkar, bukan untuk mempermalukan pribadi kecuali jika orang-orang itu memang terlibat. 

Kita perlu memberdayakan dan menuntun hacker, misalnya, ke jalan yang benar, bukan kegiatan mencuri kartu kredit dan pulsa atau mengganggu website orang lain, tapi untuk mendapatkan dokumen-dokumen penting untuk membongkar kasus-kasus penting.


Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.