Skip to main content

Mimpi Dihadang Ular

source: animaldanger.com
Terbangun. Saya sedang dalam perjalanan untuk mendaki sebuah gunung bersama istri dan anak saya ketika tiba-tiba saya teringat apakah istri saya membawakan jaket untuk anak saya. Ternyata istri saya lupa. Sekalian dia titip sendal dan sejumlah barang lain, saya memutuskan untuk berhenti sejenak, meninggalkan istri dan anak istirahat. 

Arah pulang ke rumah melintasi pesawahan. Saya menyusuri pematang dengan sangat hati-hati. Namun beberapa kali saya harus berhenti karena banyak sekali ular-ular menghadang. Tanpa bermaksud untuk membunuh, saya memungut sejumlah batu dan melemparkan ke arah kelompok ular itu agar menyingkir. Berjalan setahap, eh, masih ada ular lagi.

Saya sudah tiba di akhir pesawahan, namun masih harus melintasi sebuah sungai dangkal. Di seberang sungai ada ibu saya sedang mencuci pakaian. Saya berteriak memanggil Ibu ketika tampak satu ekor ular piton bergerak ke arah saya. Ibu  memberi aba-aba agar saya lari. Sebelum lari, saya sempat menghardik ular itu agar pergi. Ular besar itu masuk ke dalam lubang.

Saya berhasil melewati bagian dimana ular tadi berada. Saya mulai menyebrang sungai yang berbatu-batu. Tak lama seekor ulang besar muncul lagi. Ular itu berada di antara saya dan Ibu. Saya berteriak. Tiba-tiba seorang kerabat muncul dengan membawa senapan yang langsung mengarahkan moncol senapan laras panjangnya ke arah ular itu. 

Menjaga kemungkinan kalau-kalau tembakan dia meleset dan malah mengenai salah satu dari kami saya melarang kerabat saya itu untuk menembak. Ular semakin mendekat.... 

Astagfirullah... terbangun.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.