Skip to main content

Ganti Nama Kepemilikan Kendaraan

Ini kali ketiga saya ke kantor Department of Transportation di kota Joondalup untuk dua alasan. Pertama, untuk ganti nama kendaraan yang saya beli beberapa bulan lalu. Kedua, siang tadi untuk ganti alamat rumah.

Ganti nama
Untuk mengurus ganti kepemilikan sebuah kendaraan, sangat mudah. Setelah ambil nomor antrian, saya memilih dan mengisi sebuah formulir. Ada belasan petugas yang siap membantu. Tak sampai sepuluh menit menunggu saya dipanggil, padahal ramai sekali orang datang. Seorang perempuan muda membantu: saya diminta menunjukkan dua kartu identitas yang berfoto dan bukti tertulis dimana saya tinggal. 

Untuk kartu identitas, saya hanya bisa menunjukkan kartu mahasiswa. Petugas lalu memberi catatan di halaman file saya bahwa saya perlu datang sekali lagi untuk membawa dan menunjukkan tanda identitas lain [kelak saya membawa passport dan beres semua urusan].

Untuk bukti alamat, saya boleh membawa dua amplop surat yang dikirim oleh siapa saja untuk menunjukkan benar dimana saya tinggal. Karena saya tidak tahu syarat-syaratnya, saat itu saya tidak punya. Perempuan itu dengan santai menyarankan saya untuk pergi ke bank dimana saya punya sebuah account di sana, lalu minta cetak bank statement. Setelah membayar biaya ganti nama, saya diijinkan untuk pergi ke bank. Saya membayar sekitar 190-an dolar untuk enam bulan. Biaya ganti nama ini tergantung dari harga saat beli yang kita cantumkan pada formulir. Kalau mobil yang saya beli punya harga tinggi, mungkin biaya ganti namanya juga lebih mahal.

Bank ANZ, tak jauh dari kantor transportasi. Saya tinggal bilang ke customer service kebutuhan saya apa, tak lama saya sudah mendapat secarik kertas berisi aktifitas rekening dan alamat dimana saya tinggal dengan membayar 5 dolar. Setelah menunjukkan bukti alamat, urusan saya dengan kantor transportasi selesai.

Ganti alamat rumah
Padahal saya sudah pindah dua bulan lebih, tapi baru hari ini saya bisa menyempatkan diri ke kantor transportasi untuk ganti alamat. Ini penting, jika sesuatu terjadi dengan mobil saya, petugas bisa dengan mudah melacak. 

Kali ini juga sangat mudah. Setelah ambil nomor, mengisi formulir, dipanggil, lalu petugas mengganti alamat lama dengan yang baru. Beres. Tiga menit selesai.

Kapan Indonesia punya sistem dan attitude begini ya? Praktis dan murah. 



Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.