Skip to main content

Memulai Karir di Usia Senja, Mengapa Tidak?

Banyak orang yang akhirnya bisa meraih mimpi dan mendapatkan apa yang menjadi obsesi hidupnya ketika usianya sudah tak muda lagi. Misalnya, Susan Boyle, runner up acara pencari bakat Britain's Got Talent di tahun 2009, mewujudkan harapannya ketika usianya menjelang 50 tahun. Almarhum Mbah Surip, penyanyi berambut gimbal tanah air, meskipun tidak pernah jujur mengatakan umurnya berapa, tapi kita bisa melihat bahwa kondisinya sudah tidak muda lagi ketika ia meraih keberhasilan sebagai pendendang. Tokoh-tokoh politik yang kemudian sering lalu lalang di media massa pun, banyak yang sudah ubanan baru berkiprah. Mereka yang memang sudah lama meniti karir di bidangnya atau yang baru saja terjun, lalu berhasil dan populer. 

Saya tidak muda lagi. Melihat kasus-kasus yang terjadi pada banyak orang, saya merasa tidak perlu kecil hati untuk terus bekerja. Menyelesaikan mimpi untuk memiliki sebuah profesi yang bisa identik dengan diri saya, permanen, dan tidak berubah-ubah sesuai mood dan waktu. Hahaha. Itu memang kekurangan saya, ganti tahun ganti profesi. Mudah-mudahan, karir saya yang sekarang yang saya mulai sejak tahun 2007 ini, bisa benar-benar menjadi karir terakhir: menjadi pengajar. Meskipun akhirnya berkembang, misalnya menjadi peneliti, ini tidak berarti lari dari profesi. Atau juga, misalnya kelak saya dipercaya jadi seorang menteri (mimpi.org), ini juga masih bagian dari profesi.  

Ada tiga kewajiban dosen yang harus dijalani seimbang, yaitu, tri dharma perguruan tinggi: mengajar, meneliti, dan mengabdi pada masyarakat. Saya rasa, menjadi seorang menteri adalah bagian dari pengabdian. Well, ini hanya pemisalan, dari pada berkhayal tanpa dasar jadi seorang celebriti.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.