Skip to main content

New York! Mimpi Kali Ye...

Rasanya sebal menjawab pertanyaan yang datang bertubi, "mau ambil liburan kemana?" Tidaaaaak...! Saya tidak punya rencana kemana-mana. Tidak ke Jakarta, tidak ke Hong Kong, apalagi ke Canada! 

Sebetulnya, saya bisa saja memesan tiket pulang jauh-jauh hari agar masih bisa mendapat harga yang wajar. Tapi waktu itu tidak saya lakukan karena saya belum punya kejelasan jadual untuk presentasi proposal. Eh, tahunya, tidak ada jadual untuk saya hingga awal tahun depan. Saya periksa harga-harga tiket sudah melambung abnormal bahkan ludes.

Tapi saya punya rencana hebat. Saya punya ambisi untuk menulis paper baru. Saya sudah kirim abstrak penelitian ke sebuah konferensi internasional di New York tahun depan. New York! Sekali lagi New York! Hahaha. Untuk penulis dan peneliti pemula seperti saya, membuat efek kejut pada diri sendiri itu penting, untuk saya jadikan milestone supaya saya terus bisa berkarya. Sekedar untuk menantang kemampuan. Sambil menunggu pengumuman apakah abstrak saya lolos atau tidak, saya akan terus bekerja agar tulisan saya layak disebut sebuah karya ilmiah. Jika pun tidak lolos, saya tidak akan kuatir karena pasti masih banyak konferensi di tempat lain. 

So, liburan tidak berarti harus berhenti berkarya. Saya masih bisa membawa buku dan jurnal ke taman, ke pantai, ke mana saja yang penting bisa mengusir kebosanan tinggal di kota tandus, sepi, serba mahal, tanpa kerabat, tanpa travel mate...




Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.