Skip to main content

Portal Nasional: Mengenaskan 1

Berselancar ke portal nasional milik pemerintah Indonesia, www.indonesia.go.id. Makin lama memperhatikan, rasanya makin banyak hal yang tidak sreg di hati. Saya mengklik yang versi bahasa Inggris.

1. Setelah menunggu cukup lama, saya berharap akan menemukan photo presiden berdampingan dengan wakilnya. Ternyata, photo SBY sebagai simbol negara tidak muncul. 

2. Web head, yang berupa montage photo yang terdiri dari bendera, kepulauan, istana Merdeka, atraksi suku Nias, danau, dan animasi model berbusana daerah, saya rasa sudah kuno. Desain modern website saat ini lebih cenderung bersih dan solid. 

3. Mungkin itu mengapa disebut portal, tampilan muka lebih didominasi kliping berita sehingga mengenyampingkan hal-hal penting lain.

4. Portal nasional bukanlah website-nya departemen pariwisata. Jadi, dua kampanye program pariwisata: Vote Komodo dan Visit Indonesia, sangat mengganggu.

5. Informasi yang disediakan tidak mutakhir. Misal, data turis yang masuk ke Indonesia terpasang tahun 2008. Padahal, Biro Pusat Statistik sudah merilis data hingga semester pertama tahun 2010. Bahkan, dengan sistem komputerisasi yang canggih, data bisa didapat harian.

6. Potensi yang dimiliki Indonesia cuma: natural resources, tourism, culture, and investment? Jika menyesatkan, mending jangan dipajang atau cantumkan 'others'. 

7. Klik - Potential. Ada deretan nama-nama provinsi. Klik (random) - Western Lesser Sundas Province. Tidak ada informasi apa-apa kecuali gambar peta. Jika malas mencari data, mengapa tidak dibuat link saja ke website atau portal provinsi yang bersangkutan? Klik juga - Eastern Lesser Sundas Province. Karena saya membuka versi bahasa Inggris, saya berharap informasi yang tersedia akan dalam bahasa Inggris juga. Ternyata? Btw, saya baru tahu istilah Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur dalam bahasa Inggris itu 'Eastern and Western Lesser Sundas'. Mungkin perlu berdialog dengan ahli bahasa, ahli sejarah, dan ahli archipelago karena rasanya ada yang janggal. Lesser Sunda Islands, umumnya meliputi Bali, Lombok, dan pulau-pulau lainnya seperti Nusa Tenggara, dan Timor.

Bersambung...

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.