Skip to main content

Teringat Guru Usil di SMA

Belum lama saya menonton sebuah film pendek yang berserakan di Youtube, tentang sekelompok murid badung yang tampak bosan ketika sedang mendengarkan gurunya mengajar di sebuah kelas  sekolah lanjutan. Tiba-tiba ingatan saya terlempar ke masa SMA, kepada seorang guru, yang menurut saya sangat usil dan over-acting.

Karena saya berada di kelas Biologi sementara dia guru bahasa asing, sebetulnya dia sama sekali tidak punya hubungan dengan kelas-kelas IPA. Tapi itulah, memanfaatkan posisinya sebagai 'guru', dia merasa berhak untuk melakukan hal-hal di luar kewajaran yang sebetulnya bukan wewenang dia. Misalnya, saat ujian semester berlangsung, dia mendapati satu siswa pria yang memiliki rambut melewati kerah kemeja. Tanpa tedeng aling-aling, si guru usil ini langsung mengambil gunting dan memotong rambut rekan saya itu yang sedang duduk mengerjakan soal di bangkunya. Andai saya bisa protes saat itu. Saya mempertimbangkan, hak siswa untuk bisa nyaman mengerjakan soal-soal ujian tanpa gangguan. Eh, ini malah harus menerima hukuman saat ujian sedang berlangsung.

Kasus kedua, ketika seorang murid lain, didapati menggunakan celana yang modelnya beda dengan seragam pada umumnya. Murid itu dipanggil ke depan kelas sambil diceramahi. Mungkin saya salah, tapi seingat saya, rekan yang kena tegur ini dari Senin ke Jumat hanya menggunakan satu model celana itu saja. Jangan-jangan dia memang hanya punya satu celana. Bagaimana jika itu benar kejadiannya? Selain itu, memberikan teguran di depan kelas adalah bentuk lain dari mempermalukan siswa. Guru harus juga menghargai siswa sebagai manusia yang memiliki hak azasi.

Dua kejadian itu betul-betul membekas di benak saya. Andai saya punya kesempatan untuk mengungkap keprihatinan saya ini kepada guru yang bersangkutan, saya akan senang hati melakukannya.

Saya teringat masa-masa sulit saat duduk di bangku SMA. Bapak pensiun, tidak ada lagi uang segar tiap bulan yang bisa menunjang biaya hidup dan ongkos pendidikan untuk anaknya yang banyak kecuali usaha kecil-kecilan yang dijalankan di rumah yang hasilnya juga tidak seberapa. Bayar SPP saja sering telat, kadang hingga berbulan-bulan. Saya sering menghindar dari acara-acara gathering kelas atau sekolah jika harus ada unsur bayarannya. Tentu saja saya tak berani meminta uang kepada orang tua di luar ongkos harian karena saya mengerti kondisi mereka. 

Saya ganti seragam jika ganti tahun ajaran. Sudah dipastikan celana-celana saya sudah bolong-bolong pada bagian pantat. Jika ada teman-teman yang menambalnya di bagian luar celana dengan Tensoplast, saya lebih kreatif: menempelkannya pada bagian dalam.

Sepatu saja saya hanya punya sepasang dengan harga termurah yang ada di toko BATA. Jika tidak rusak, sepatu tak akan ganti. Bahkan kalaupun rusak tapi masih bisa dipakai, saya akan terus pakai sepatu itu hingga benar-benar tak bisa dipakai. Hal yang menyedihkan jika sedang musim hujan, sepatu-sepatu saya bolong pada bagian alasnya. Saya harus menggunakan kantong plastik pada bagian dalamnya supaya kaus kaki saya tidak basah. Tapi seringnya gagal. Suatu ketika, secara mendadak pihak sekolah mengumumkan bahwa siswa diwajibkan menggunakan sepatu warna hitam setiap kali upacara bendera. Saya tidak tahu apa yang dilakukan teman-teman sekelas, tapi yang saya lakukan adalah dengan menyemir sepatu kets putih saya dengan warna hitam supaya saya bisa selamat.

Guru-guru kadang ajaib, sok berkuasa, sok mampu.




Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.