Skip to main content

Ide itu Datang tiba-tiba Setelah Solat Subuh

Padahal akhir minggu lalu sudah saya jadikan batas akhir untuk menyelesaikan satu paper, supaya saya segera pindah ke paper lain. Ada dua paper yang sedang saya kebut penyelesainnya. Namun apa daya tak mampu?

Projek dari tempat saya bekerja sudah bergulir sejak minggu lalu. Waktu saya tersita dari Kamis hingga Minggu dari pagi hingga sore sepanjang tahun, insyaallah. Semoga saya terus diberi kesehatan dan terus bekerja dengan baik dan berprestasi. Malamnya saya akan sempatkan ke kampus untuk mengerjakan penelitian. Ada dua deadline yang harus selesai akhir bulan Januari ini. Tapi rasanya saya harus mengambil salah satu saja karena selain kehabisan waktu, ide juga sering mampet. 

Seringkali saya duduk bengong di depan komputer dan bingung mau menulis apa. Saya merasa perlu banyak ide segar dan itu tidak muncul setiap saat. Syukurlah pagi ini setelah saya sembahyang subuh, tiba-tiba terlintas sebuah ide bagus yang bisa saya tambahkan sebagai contoh kasus untuk paper yang sedang saya tulis. Mungkin proses begini juga menimpa banyak peneliti dan penulis lain. Saya hanya baru merasakan. Maklum, sedang belajar jadi peneliti.

Paper ini, kelak akan diterbitkan dalam sebuah buku dengan sejumlah paper dari mahasiswa Indonesia di seluruh Australia. Sebetulnya tulisan saya sudah selesai dan dikumpulkan. Namun begitu ada waktu tambahan untuk melakukan revisi, bukan hanya revisi kecil yang saya lakukan. Malah membongkar total isi paper. Terutama strukturnya yang menurut saya masih saja kurang sreg.

Meneliti dan bekerja. Dua hal ini yang sedang saya lakukan sekarang. Harus membagi waktu begitu, jika tidak, bisa kelaparan di negeri orang. Harap dimaklumi, karena uang beasiswa sering terlambat. 


Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.