Skip to main content

Jurnal Sabtu

Kolekasi perpustakaan yang membangkitkan
minat siapa pun untuk menjadi pembaca.

Public Library, Joondalup

Saya tidak bisa memutuskan cepat apa sebenar-benarnya mau saya hari ini: 1) ke kampus untuk mengerjakan salah satu projek riset. Ada tiga projek dan saya harus memilih: proposal yang mungkin dalam waktu dekat akan dipresentasikan, paper untuk buku yang akan diterbitkan (sudah selesai bulan lalu, sudah dikirim ke panitia penerbitan, tapi baru kemarin mendapatkan respon pengeditan) atau meneruskan paper yang sedang saya tulis untuk rencananya untuk saya sertakan dalam sebuah lomba.  2) ke kota, cari tempat yang nyaman untuk membaca jurnal.

Begitu duduk di belakang kemudi, pikiran saya sudah berubah lagi. Saya mau mengunjungi perpustakaan umum Joondalup. Belum pernah saya kunjungi meskipun sering saya lewati. Saya pikir saya bisa memilih tempat yang nyaman dan mulai bekerja dengan salah satu projek riset saya. Tiba di sana, hasrat saya untuk bekerja masih belum muncul. Saya malah terpesona dengan keadaan sekitar. Takjub bagaimana pemerintah kota melayani warganya. Kepala saya malah dipenuhi lamunan jika anak saya tinggal bersama saya, dia akan sering saya ajak ke tempat itu. Ruang tempat bermain anak luar biasa menyenangkan. Saya juga berangan-angan untuk membangun sebuah perpustakaan di Indonesia yang sebagus tempat itu. Saya bisa bertahan hingga beberapa puluh menit ketika saya menemukan deretan majalah kelas dunia.

Lalu saya memilih ke kampus. Dan belum bisa bekerja. Malah tak henti-hentinya browsing video di Youtube. Berhenti hanya ketika mau sembahyang saja.

Melirik jam, sudah hampir jam enam. Matahari masih tinggi. Ke pantai? Saya buru-buru berkemas. Tapi begitu tiba di parkiran, pikiran saya berubah. Bagaimana jika saya ke kota, mengunjungi salah seorang sahabat? 

Beginilah hidup sendiri di tempat perantauan.


Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.