Skip to main content

Memulai Tahun Baru dengan Projek Baru

Dua hari berturut-turut ini, saya mengikuti training dan workshop yang diselenggarakan oleh sebuah perusahaan riset pemasaran dimana saya sudah bergabung dengan mereka sejak Agustus atau September lalu. Projek 2011 akan segera dimulai. Hari-hari akan lebih sibuk dari sebulan terakhir ini. Saya benar-benar harus bisa mengatur waktu agar bisa termanfaatkan dengan sangat baik. Harus seimbang antara bekerja, belajar, dan me time

Ada sekitar 20 peserta yang mayoritas berusia lanjut, sangat. Mereka masih tampak sehat dan bersemangat. Dan melulu termotivasi bukan karena uang setelah beberapa saya tanya mengapa memilih bekerja di usia lanjut mereka. Saya salut dengan perusahaan yang masih membuka pintu selebar-lebarnya bagi siapa saja yang mau berpartisipasi menjadi bagian dari tim tenaga interviewer, tanpa diskriminasi baik umur maupun kebangsaan. 

Sekejap saya membandingkan dengan kondisi di tanah air. Orang tua yang sudah pensiun, seolah tugas hidupnya sudah selesai. Nyaris tak memanfaatkan diri atau tak dimanfaatkan kecuali untuk mengasuh cucu. Saat saya masih kuliah S1, saya pernah juga bekerja sebagai interviewer di Jakarta. Rekan kerja saya sebagian besar mahasiswa. Beberapa ada ibu rumah tangga dan bukan mahasiswa. Tapi usianya saya taksir tak lebih dari 45 tahun. Di samping itu, perusahaan memang hanya merekrut karyawan yang masih segar. 

    Kami memilih duduk di bagian luar cafe dimana
ada pagar hidup berupa  pohon anggur. Pemilik restoran 
dibolehkan memetik anggur tsb. Namun demikian,
tak ada yang iseng seperti saya. Pengunjung melihat
pohon anggur hanya sebagai dekorasi.
Sepertinya mereka sepakat untuk membiarkan
buahnya hingga matang lalu busuk sendiri.

Interior Casa Mia

Calamari, tersembunyi di balik tumpukan kerang

Casa Mia, Italian cafe di Great Eastern Highway

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.