Skip to main content

Pernah Menyuap Polisi?

Kasus Gayus itu, jika disamakan dengan pecanyakit, mungkin ibarat AIDS atau lepra?

Kita tahu bahwa dan sering membuktikan atau bahkan terlibat dalam kasus-kasus suap. Seringkali dulu, ketika saya masih bekerja pada bagian penjualan, saya diminta atau menawarkan uang agar saya bisa menang  pengadaan barang, baik perusahaan swasta maupun BUMN dan pemerintah. Belum lagi gratifikasi berupa entertainment dan kado-kado. Target bulanan harus tercapai dan cara-cara demikian sangat diperlukan. Jika tidak, entahlah. 

Waktu membuat SIM, saya dicegat seorang polisi di pintu masuk. Dia menawarkan kemudahan. Tentu saja saya ingin yang mudah dan cepat. Dengan membayar sejumlah angka yang dia maksud (saya tawar, boleh), saya mendapatkan SIM pertama saya tanpa tes dan sehari selesai. Berurusan dengan polisi di jalan pun begitu. Beberapa kali saya kena tilang. Tapi untuk yang satu ini, saya selalu tabah untuk tidak menerima pesan 'damai' yang ditawarkan petugas. Saya selalu meminta tilang resmi. Dan mereka akhirnya selalu tak siap memberikan surat tilang. Lolos, deh.

Untuk mengurus passport pun begitu. Dulu kalau mau membuat passport harus di kota di mana KTP dibuat. Karena KTP saya di Bogor dan saya tinggal di Jakarta, saya perlu ke kantor imigrasi Bogor. Pertama, ada biaya untuk membeli map yang harganya jauh lebih mahal dari harga warung. Itu wajib dibeli. Lalu ketika mau sidik jari, diminta uang juga, tanpa kuitansi dan pasti itu pemerasan. Belum lagi di akhir, saya diminta bayaran lebih dari yang seharusnya. Saya membayar hampir dua kali lipat, karena repot sekali harus tiga kali datang. Bayar mahal pun ternyata tetap harus dua kali datang. 

Satu hal yang lucu, entah ketika untuk passport kedua atau ketiga kali, saya kembali ke Bogor. Waktu itu saya bilang mau cepat tapi dengan harga normal, alasan saya karena rumah jauh. Petugas loket menyebut harga premium. Dengan bulus saya melintas cepat. Saya tanya, jika Bupati menelpon ke sini minta pembuatan passport saya agar cepat, bisa? 

Petugas loket lalu menganggat telpon menghubungi seseorang. Begitu selesai, saya diminta untuk menghadap seseorang di ujung ruangan. Saya ditanya beberapa hal yang intinya apakah saya 'titipan' seorang pejabat tinggi. Saya melihat sebuah celah. Saya bukan pembohong dan tak mau bohong, hanya cerdik. Tapi saat itu saya betul-betul panik (sekuat tenaga agar tidak tampak) karena saya menggertak, tapi tak tahu nama Bupati Bogor. Untunglah orang saya tidak ditanya sejauh itu. Saya diminta untuk menunggu sebentar. Kesempatan itu saya gunakan untuk menelpon saudara, menanyakan nama Bupati Bogor. 

Well, saya tidak bilang saya anggota keluarga atau kenalan atau apa pun dari sang Bupati. Saya masih ingat, saya hanya tanya: apakah jika Bupati yang menelpon, passport saya bisa jadi lebih cepat tanpa harus tiga kali datang? Bayangkan: pertama, beli formulir; kedua, wawancara dan foto; ketiga, ambil passport. Sangat membuang waktu. Saya perlu tiga kali meminta ijin atasan saya di kantor.

Tak lama nama saya dipanggil dengan pengeras suara yang mengisi seluruh ruangan. Saya kembali dipertemukan dengan orang di pojokan. Orang itu lalu membawa berkas saya naik, menghadap seseorang lain yang pangkatnya sepertinya lebih tinggi. Saya diminta ikut. Orang yang saya temui berikutnya itu, seorang pria paruh baya yang sangat santun. Dia mengaku baru dipindahkan dari sebuah kota, ingin bersosialisasi dengan pejabat-pejabat tinggi Bogor. Saya terus waspada membaca ke arah mana pembicaraan dia. 

Saya tidak kenal satu pun pejabat Bogor. Saya tak pernah bilang saya anggota keluarga atau siapa pun yang ada hubungannya dengan pejabat Bogor. Saya hanya warga Bogor, yang gelisah dengan birokrasi pemerintah dan mencoba bernegosiasi.

"Bapak tadi bilang dari mana?" 
"Tadi Bapak bilang, utusan siapa?"

Setelah beberapa pertanyaan yang ternyata tak harus membuat saya berbohong, hanya diplomasi cerdas, saya diarahkan ke ruang foto dan sidik jari. Sehari kemudian, diminta datang lagi untuk ambil passport. Mestinya saya bersyukur sudah dipercepat tanpa antri, tanpa tiga kali datang (cukup dua kali), tapi saya menagih untuk hanya satu hari saja. Saya ingin hari itu passport jadi hingga tak perlu ke sana lagi. 

Pejabat imigrasi yang paruh baya tadi berbisik. "Kepala kantor imigrasi tidak ada di tempat. Beliau sedang menghadiri pelantikan Bupati baru..." Saya manggut. Keluar kantor imigrasi dengan sebuah kemenangan mengalahkan sebuah birokrasi. Birokrasi itu negotiable. Atur-able. Menyedihkan. 

Untungnya, saya tak perlu memberikan uang lebih. 





Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.