Skip to main content

Bertemu 'the Queen' from Burma

Setiap Kamis dan Jumat, biasanya saya gunakan untuk bekerja. Namun karena ada deadline riset, saya undurkan ke Sabtu dan Minggu. Namanya kerja partuh waktu, begitulah enaknya. 

Minggu, saya mengunjungi satu wilayah tak jauh dari kota Perth. Ada dua bangunan flat yang harus saya 'garap'. Tibalah saya mengetuk pintu rumah seorang nenek asal Burma. Nenek itu menolak saya wawancara karena katanya, dia tak pernah mendengarkan radio. Projek riset (pekerjaan, bukan riset akademik saya) yang sedang saya garap memang berhubungan dengan para pendengar radio. 

"Kamu berasal dari mana?" tanya si Nenek yang mengaku berasal dari Burma. Saya sudah terbiasa dengan pertanyaan sederhana itu. Saya jawab singkat sambil memuji cara dia membuat tanda salib dari kertas yang dia tempel di pintu. Basa-basi demikian seringkali perlu untuk membuat percakapan lebih lancar, meskipun saya sadar orang itu telah menolak saya wawancarai. Tapi siapa tahu, dia akan berubah pikiran. Saya menemukan banyak kasus, orang-orang yang awalnya menolak diwawancarai, namun berkat jurus pendekatan SKSD (sok kenal sok dekat), berhasil saya yakinkan untuk bersedia diwawancarai.

Kali ini saya tidak berniat lebih jauh. Tapi si nenek dengan sedikit memaksa, menawari saya minum dan mengajak saya masuk ke flat-nya yang model studio itu. Saya disuduhi rock melon yang segar. "Maaf, saya tidak bisa terlalu lama. Saya sedang bekerja..."

Dengan kibasan tangan, nenek itu meminta saya untuk melupakan hal yang berhubungan dengan keduniawian. Dia mengingatkan saya atas panggilan Tuhan. Saya mengerti maksud dia. Dari apa yang saya lihat dan saya dengar, orang ini pastilah seorang religius. Dari CD yang dia putar, lagu-lagu gerejani mengalir deras. Ada minimal dua poster Jesus berukuran besar tampak terpajang. Belum lagi hal-hal kecil lainnya yang menunjukkan perkataannya memang sesuai dengan perbuatan.

"Kamu Muslim, kan?" Saya jawab tegas, iya. Dia mulai bercerita tentang cucunya yang bernama Jacob. Lalu dia bercerita tentang beda Yakub dan Jacob. Menurutnya, perbedaan bukan karena bahasa saja, tapi arti juga. Yakub menurut konteks Islam, sementara Jacob menurut kenteks Kristen. Ah, saya belajar sesuatu. Sederhana, tapi sangat penting untuk memahami hal demikian. Dengan pemahaman ini, saya pikir mungkin orang Islam tak menamai anak lelakinya dengan Yosep atau Josep dan lebih baik Yusup. Bagaimana dengan Usep? Hahaha.

Meskipun cerita nabi-nabi yang nenek Burma katakan itu menarik, saya tetap saja gelisah. Saya sedang bekerja! Tapi rasa haus akan pengetahuan dan respect terhadap dia telah menahan saya untuk tetap mendengarkan.

Tibalah pada pertanyaan tentang berapa perempuan dalam hidup Abraham? Yeah, saya pernah belajar tentang kisah para rasul. Tapi jujur, saya lupa. Saya jawab: satu. Ragu-ragu. Berapa anak Abraham? Saya jawab juga: satu. Nenek itu terpingkal penuh kemenangan karena menurutnya jawaban saya salah semua. Lalu dia membuka Holy Bible dan meminta saya membaca sebuah ayat yang dia tunjuk. Lalu ayat lainnya dari halaman berbeda dan ayat lainnya lagi dari halaman lainnya.

"Bla, bla, bla.... his concubine... bla, bla, bla... the concubines..."
"Plurals!" Teriak si nenek mengagetkan saya karena dia tak mendengar dengan jelas huruf 's' yang saya baca ketika saya menyebut 'the concubine'. Saya membaca ualng dengan plurals yang jelas, yang menyatakan bahwa ada lebih dari satu selir yang dimiliki oleh Abraham. Satu saja telah membuat saya kaget apalagi lebih dari satu. Saya mengernyit. "I never never never never never never never never heard about this..." Nenek itu tertawa lagi. Dengan kulit gelap, wajah berlapis bedak cair yang mengerak, gigi hilang semua, rambut digelung ke atas, lampu ruang yang temaram, dan musik gothik yang mengisi seluruh ruangan, saya seolah sedang berhadapan dengan nenek sihir yang siap menjadikan saya santapan makan malamnya. Saya merinding. Demi Tuhan, saat itu saya merinding.

Abraham was not Ibrahim. Sama saja dengan Jacob yang bukan Yakub. Karena saya seorang Muslim, tentu saya hanya meyakini cerita versi Islam. Namun demikian, sebuah pengetahuan baru saya dapatkan hari itu: Abraham menikahi Sarah dalam usia 93, sedangkan Sarah berusia 90. Menyadari dia sudah tak lagi menarik sebagai teman tidur, Sarah mempersilakan Abraham untuk meniduri perempuan Mesir yang menjadi pembantu mereka bernama Hagar. Dari perempuan Mesir yang tidak pernah dinikahi itu, lahirlah Ishmael. Karena sejak lahirnya Ismail perhatian Abraham melulu tertuju kepada bayi Ismail, Sarah cemburu. Perempuan Mesir dan bayinya itu diusirnya. Sementara itu, Tuhan telan menjanjikan Sarah akan mengandung anak dari Abraham. Maka lahirlah Isaac.

Pada cerita lain, Abraham juga berhubungan dengan seorang selir bernama Keturah yang memberinya enam orang anak lelaki yang salah satunya bernama Midian, nama yang kemudian dijadikan nama untuk tanah yang sekarang dikenal dengan nama Saudi Arabia. 

Ah, saya mesti baca-baca lagi sejarah Islam. Saya bertemu orang Mormon, ceritanya berbeda. Bertemu orang dari Saksi Yehovah, beda lagi ceritanya. Tapi saya merasa diberkahi karena bisa mendengar banyak cerita yang berbeda.

Lalu katanya: "Jesus tidak pernah dilahirkan tanggal 25 Desember. Maka seharusnya tidak merayakan hari kelahiran-Nya saat natal. Dia Yahudi. Kita mestinya merayakan Hanukah saja." Oh. Saya hanya bisa meng-oh. Lieur

Lanjutnya, "Saya sudah menyurati Elizabeth the Queen dan menyampaikan pandangan saya ini." Orang itu lalu menunjukkan segepok amplop dengan stempet Royal Mail dari Inggris Raya. Saya agak curiga apa mungkin Ratu Inggris mau membalas surat dari seseorang seperti nenek Burma ini? "Beliau mengucapkan happy hanukah kepada saya!" Kata dia sambil membungkus rapat amplop-amplopnya itu lagi.

Untuk menimpali obrolannya, saya bercerita tentang mimpi bertemu Ratu. Si Nenek tertawa riang. "Pertemuan kita sudah direncanakan Tuhan. Kamu lihat the Queen mengenakan baju apa?" Saya katakan kalau Ratu menggunakan baju terusan dengan mahkota di kepalanya, berjalan menghampiri saya dengan tangannya sibuk mengangkat bagian bawah baju agar tidak terkena lumpur karena pada saat itu saya sedang terjebak di tengah lumpur. Ratu mendatangi saya untuk menolong. Nenek Burma tertawa. "Kamu lihat apa yang saya pakai..." Saya merinding lagi. "Yang kamu lihat di mimpi itu adalah saya... you come to me, you want me to save you..." Katanya sambil mengangkat bagian bawah kain yang dia gunakan mempraktekkan acting the Queen dalam mimpi saya. Tiba-tiba saya merasa benar-benar telah menjadi cacahan daging panggang yang siap dia telan...

"What is your religion, anyway?"
"Judaisme"











Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.