Skip to main content

Biarkah Ahmadiyah Hidup

Mengapa kita tak belajar dari umat Kristen yang menyikapi sekte Saksi Yehovah dan Mormon dengan kepala dingin?

Suatu ketika, saya ditemui dua orang dari Saksi Yehovah. Mereka keliling kampung dari satu rumah ke rumah lain mengabarkan tentang beberapa kekeliruan ajaran Kristen. Saya, meskipun bukan Kristen, tapi pernah belajar agama Nasrani ini, terbengong-bengong. Oh, ya? 

Hal sama, ketika saya bertemu dengan misionaris Mormon. Mereka melakukan kegiatan serupa dengan Saksi Yehovah. Mereka memiliki kitab bernama Mormon, yang dianggap memiliki keontetikan isi alkitab  hasil penyelamatan seorang pendeta yang lantas dipercaya sebagai orang suci.

Kedua sekte ini, menurut sejumlah Kristen yang saya tanyai, sesat. 

Tapi, beragama kan memang urusannya dengan keyakinan. Siapa percaya apa, itu adalah hak dan tanggung jawabnya. Lalu, mengapa ada sebagian orang Islam yang alergi dengan perbedaan keyakinan? 

Mengapa kita biarkan Ahmadiyah hidup. Jika mereka keliru, biarlah jadi urusan mereka. Jika kita kuatir ada anak dan cucu kita pindah keyakinan mengikuti Ahmadiyah, maka ajarlah mereka dengan baik dan benar. Tidak perlu membubarkan apalagi membantai mereka. Terganggu sekali nurani saya setiap kali baca berita tentang kekerasan yang diterima warga Ahamdiyah oleh para polisi keyakinan di Indonesia. Apalagi pemerintah dan aparat seolah mendukung aksi anarki selama ini.

Andai di Indonesia ada Kementrian Kaum Minoritas dan membubarkan Kementrian Agama yang sekarang ada. Mungkin ceritanya akan lain...





Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.