Skip to main content

Bicara, Bukan dengan Bom

Prihatin sangat dengan teror bom buku yang melanda Indonesia saat ini. Bom yang diselipkan dalam buku dalam sebuah paket, bisa ditujukan kepada siapa saja secara individu dan sebuah bentuk yang menyerupai paket buku akan diduga sebagai bom. Maka, kekacauan inilah yang diharapkan oleh pembuat dan pengirim bom. 

Hanya orang sinting tak bermoral yang sempat berpikir dan melakukan hal-hal tidak berguna itu. Berapa banyak waktu dan energi yang terbuang gara-gara teror ini? Bukankah lebih penting jika itu dimanfaatkan untuk bekerja?

Mereka hanya orang-orang frustasi yang tak bisa berdialog dan berkompromi dengan keadaan, menurut saya. Apa sesungguhnya mau mereka? Mereka tidak setuju seorang Ulil bicara bebas perihal kebebasan beragama? Ajaklah Ulil berdiskusi. Jika Ulil masih tak mau berhenti, buatlah organisasi tandingan yang mempropagandakan hal kebalikan dari apa yang Ulil gembor-gemborkan.

Jika para penebar teror ini tak setuju dengan apa yang dilakukan oleh kepala BNN, proteslah. Jika protes tak didengar, buatlah organisasi yang bersebrangan dengan BNN. Misalnya, karena BNN tugasnya menangkapi orang-orang yang terlibat dalam urusan narkoba, maka teroris ini membuat organisasi yang menjadi pembela hukum kriminal narkoba.

Atau, jika orang-orang itu tak setuju dengan Ahmad Dhani, gampang saja. Jadi musisi yang bisa menandingi Ahmad Dhani dan tunjukkan hal-hal sebaliknya dari apa yang telah dilakukan Ahmad Dhani.

Bukan dengan cara membungkan orang-orang yang tak mereka setujui. Picik sekali.


Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.