Skip to main content

Ketika Karir Mendadak Runtuh Karena Issue Rasial


Rumah mode Dior baru saja memecat perancang Galiano yang sangat terkenal karena karya-karyanya yang dianggap monumental di bidang fashion gara-gara saat mabuk dia tak bisa mengontrol omongan hingga keluarlah ungkapan 'I Love Hitler..." Orang mabuk biasanya berkata jujur.

Anda boleh mencintai siapa saja meskipun orang tersebut dibenci banyak orang. Tapi jangan Hitler. Karena prestasinya dalam membantai manusia, terutama warga Yahudi, Hitler dianggap sebagai manusia tergelap yang pernah diciptakan Tuhan di muka bumi.

Jika Galliano dipecat, tentu saja sangat masuk akal. Tak perlu sampai keputusan pengadilan tiba. Jika dalam kitab hukum dia terang-terangan masuk kategori penistaan terhadap suatu ras, maka perusahaan sebaiknya segera ambil tindakan keras. Apalagi, actor sekelas Natalie Portman yang baru saja mendapatkan Oscar bereaksi cepat untuk ogah berhubungan dengan pria berambut gondrong itu. Bukankah itu pertanda buruk jika Dior tetap mempertahankan Galliano? Sementara katanya, dalam hitungan hari rumah mode ini juga mau pagelaran busana.




Sangat menarik jika perusahaan dan organisasi di Indonesia menerapkan tindakan cepat seperti Dior. Sayangnya, kasus yang terjadi di tanah air, seringkali ditangani dengan tidak tegas. Misalnya, tindakan dibuat menunggu hasil pengadilan. Padahal terang-terangan orang tersebut pelakunya. PDIP tak memecat deretan anggota DPR yang tersangkut cek pelawat. Mereka menunggu hasil pengadilan. Susno, polisi yang sempat ditahan karena kasus suap, kembali masuk Polri ketika masa tahanan tiba. 

Perusahaan dan organisasi di Indonesia tak peduli citra. Mereka tak perlu citra. Sabodo teuing.



Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.