Skip to main content

Ketika Sebuah Usaha Monopoli Merugi

Sebuah berita online mengganggu pikiran saya: "Hanya 142 dari 381 PDAM Raih Laba". Mending jika sekedar break event point. Tapi bagaimana jika merugi? Saya tak membaca artikel tersebut lebih jauh. Keburu sesak nafas. Sebuah usaha yang notabene monopoli di bidangnya, tapi tak untung, pasti banyak kekeliruan yang terjadi di sana. Tak perlu terlalu menyalahkan pihak internal PDAM, karena masalah bisa datang dari external perusahaan juga.

1. Debit air yang sedikit. Karena kemarau, jumlah air sedikit. Untuk menyalurkan air ke pipa-pipa saluran ke rumah tangga dibutuhkan tenaga mesin yang tentu saja perlu bahan bakar yang tidak sedikit.
2. Mismanagement. Penempatan orang-orang yang tidak layak pada posisi kunci perusahaan bisa mengarahkan perusahaan pada kehancuran. 
3. Korupsi. Pihak-pihak yang memiliki akses terhadap keuangan perusahaan, dengan gegabah memanfaatkan uang perusahaan untuk kepentingan-kepentingan perusahaan.
4. Kebocoran pipa saluran. Sangat biasa kita menyaksikan pipa air PAM yang bocor karena kualitas pipa yang rendah. Kebocoran juga bisa terjadi karena bencana alam. Namun tidak setiap daerah bernasib malang. Tingkat perawatan yang rendah juga bisa mengakibatkan kebocoran.
5. Pencurian. Ada orang yang mencuri air? Mungkin saja. Misalnya, meteran air diakali supaya tagihan tidak banyak. 

Berharap saja, kelak PDAM tidak terus merugi. Jika ada indikasi demikian, sebaiknya segera diambil tindakan yang cermat: ganti pemimpin, misalnya.

Comments

cupZ said…
Yup,, sebagaimana PT. Kereta Api Indonesia yang katanya merugi,, ternyata PDAM juga perusahaan yang sama-sama berdiri dengan dasar monopoli sama-sama merugi...

Kok aneh ya ada monopoli bisa merugi? Jadi penasaran kalau swasta juga diperkenankan bersaing bersama PDAM atau PT. KAI.. mungkinkah juga bakal merugi? hihi
Anatomi Angin said…
hehhe. begitulah. menggemaskan 'kan?

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.