Skip to main content

Konflik dengan Three Australia: Stand Up for All My Rights!

Tiba-tiba handphone saya tidak bisa digunakan untuk mengirim SMS. Saya pikir koneksi lagi jelek karena saat itu saya sedang berada dalam ruangan. Tak lama saya coba untuk menelpon seseorang pun masih tidak bisa. Saya berpikir koneksi Three, provider yang saya pakai selama ini memang bermasalah. Keesokan harinya ketika saya bertemu sejumlah sahabat, saya bahas masalah saya. Ternyata meskpipun mereka menggunakan provider yang sama, tapi mereka baik-baik saja. 

Keesokan harinya, saya mengunjungi toko Three. Mereka menganalisa masalah saya dan menemukan bahwa ada tagihan tinggi yang sangat tinggi yang belum saya bayar: 1200 dolar! Saya tidak kaget, karena mungkin petugas itu cuma keliru saja. Tapi begitu saya disambungkan dengan seseorang di telepon dan beberapa kali orang itu menyebutkan angka yang fantastis itu, saya baru tersadar. Pada tagihan telepon saya, benar-benar ada angka 1200 yang harus saya bayar. Jika tidak, blokir akan terus dilakukan.

Petugas di telepon itu pun menyebutkan bahwa tagihan terbesar adalah untuk penggunaan internet, terutama pada malam hari di atas jam 12-an. Saya menelan ludah. Pahit rasanya. Saya yakin ada masalah dengan tagihan saya itu.

Menunggu beberapa hari sampai tagihan telepon saya terima, lalu saya menghubungi karyawan di Student Guild yang tugasnya memang membantu mahasiswa yang bermasalah. Orang ini lalu menghubungi Three dan berhasil menekan tagihan, dari yang 1200 dolar menjadi cuma 250 dolar. Sebetulnya, saya masih keukeuh untuk bertahan tak mau bayar. Tapi karena dijanjikan bahwa Three akan melakukan investigasi dan kelak uang akan dikembalikan, saya mau juga membayar. 

Eh, kejadian serupa terjadi lagi satu bulan berikutnya dan sambungan handphone saya diblokir. Tagihan gendut kembali muncul. Bisa saya katakan, saya tak pernah menggunakan handphone saya untuk sambungan internet yang bisa beresiko munculnya tagihan setinggi itu. Di rumah, saya ada wifi. Di kampus, ada juga sambungan internet gratis. 24 jam saya mendapat internet. Untuk apa saya masih harus menggunakan handphone untuk akses internet?

Beberapa orang menyarankan agar saya mencari bantuan dari Telecommunication Ombudsman. Setelah saya lacak lewat Google, saya menemukan juga kantor ini. Saya surati mereka. Tak lama saya mendapat balasan. Kasus saya mereka terima untuk diperhatika. Tapi mereka tetap menyarankan agar saya menggunakan jalur resmi dulu, dimana jika saya merasa dirugikan oleh perusahaan, saya dimina bicara dengan pihak perusahaan dulu. Jika tak ada titik temu, baru saya lapor kembali ke Ombudsman.

Akhirnya saya telpon Three. Karena penyelesaian yang ditawarkan tak memuaskan, saya melakukan up date laporan. Sehari kemudian, pihak Ombudsman menelpon untuk mengkonfirmasi keluhan saya. Oleh orang itu, kasus saya ditingkatkan statusnya.

Sehari kemudian, Three menelpon. Sempat kaget karena diperkirakan respond mereka bisa 1 hingga 2 minggu. Awalnya mereka meminta saya bercerita. Lalu mereka mengkonfirmasi ulang laporan saya. Terjadilah negosiasi. Mereka menurunkan nilai tagihan bulan kedua, yang tadinya 350 dolar menjadi 150 dolar. Saya belum mau terima. Saya hanya bersedia membayar sesuai plan yang saya tanda tangani saat pembelian, tak lebih dari 60 dolar per bulan. Agak alot hingga akhirnya mereka setuju untuk membiarkan saya hanya membayar 60 dolar saja.

Yes. Saya menang dalam memperjuangkan hak saya sebagai konsumen. 

Tapi..., masih ada tapi. Saya juga perlu pengembalian uang dari 250 dolar yang sudah saya bayar pada bulan sebelumnya. Three tak sependapat, katanya, saya sudah setuju dan sudah membayar. Saya masih mendebat, bahwa jika pun saya membayar, itu karena saya diminta membayar sementara karena Three saat itu berjanji untuk melakukan investigasi mengenai kasus saya dan menunjukkan bukti-bukti. 

Penyelesaian kasus ditunda. Mereka perlu mempersiapkan diri untuk penyelesaian kasus bulan sebelumnya ini. Dan saya, tentu saja, masih punya sejumlah senjata untuk membela hak-hak saya. 

Insyaallah, karena itikad saya baik, semua persoalan ini akan berakhir dengan baik. Tujuan saya, win-win solution, bukan untuk menjatuhkan perusaan ataupun membiarkan diri saya terkapar merugi.


Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.