Skip to main content

Nurdin, O, Nurdin

Saya tidak bisa membayangkan menjadi sosok pribadi Nurdin Halid akhir-akhir ini yang dihujat dan dijadikan musuh banyak orang karena sejumlah kekeliruan yang dia lakukan. Terlibat satu kasus korupsi saja bisa bikin hati ciut dan mestinya malu bukan main. Dia melakukannya berkali-kali! Seakan tidak ada kapoknya masuk bui dan dijadikan bahan berita. Dia sudah kecanduan tersangkut perkara hukum sepertinya. 

Manusia ini penuh prestasi. Mengagumkan. Namun bukan prestasi yang membanggakan seorang Ibu yang pernah melahirkannya, karena pencapaian yang ia buat penuh intrik dan maksiat. Karena dia merasa bisa membeli kebebasannya, dia tak pernah takut terjerat (lagi). Konon, dia telah bebas dua kali dari tuntutan jasa karena kasus korupsi. Itu kan prestasi gemilang yang kalau bukan karena uang, mana mungkin dia aman. Ia yang pernah dua kali terpilih jadi ketua PSSI, banyak pula melakukan kebohongan. Misalnya, mengganti Statuta FIFA sesuai dengan versi-nya. 

Sudah saatnya kita membungkam makhluk sejahat dia. Andai di setiap sendi masyarakat masih ada orang-orang seperti dia, insyaallah, negara kita akan tinggal sejarah sekian puluh tahun ke depan. Hancur berkeping. 

Mari selamatkan bangsa, negara, dan hidup kita. Singkirkan Nurdin Halim! Semua orang harus bersikap. Kita tak perlu manusia semacam dia. Manusia yang bisanya merongrong, bukan menyokong. Kita malu, sebagai warga negara, membiarkan dia menjabat organisasi publik. 

Hal yang menggemaskan, karena dia sebagai kader Golkar, terus disemangati untuk terus berkarya oleh partainya, termasuk pemimpin partainya. Saya sedang bilang: eh, itu kader sedang merusak citra organisasi! Buang saja! 


Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.