Skip to main content

PSSI, Seharusnya...

Hal yang perlu dilakukan PSSI adalah menerjemahkan seluruh peraturan yang dibuat oleh FIFA yang akan digunakan untuk mendasari pemilihan pengurus yang baru. tanpa memodifikasi. Modifikasi hanya akan membuat pihak-pihak yang pro-perubahan akan apriori. Sebaiknya, bukan PSSI yang melakukan penerjemahan untuk menghindari ketidakpuasan pihak lain. Tunjuk pihak ketiga yang dinilai netral dan profesional.

Setelah terjemahan selesai, diseminasi kepada publik, lampirkan versi aseli dari FIFA. Kumpulakn seluruh ide dan komentar dari warga. Setelah dirasa cukup waktu, jika perlu ada revisi, lakukan dengan sangat terbuka dan beralasan. Lalu sahkan.

Risuh kongres di Riau, karena ketidakikhlasan pengurus PSSI sekarang yang menjabat untuk berbagi, melakukan perubahan, dan bersikap adil. Mereka tidak jujur dan licik. Mereka menghendaki organisasi milik pribadi yang hanya mereka sendiri yang boleh menguasai. Bagi mereka, PSSI adalah periuk nasi, harga diri, dan borok yang bertahun-tahun ditutupi dengan lapisan-lapisan kebohongan.

Bayangkan jika orang baru yang memimpin, yang notabene bukan dari kelompok penguasa sekarang, seolah mereka akan jatuh miskin karena tak lagi bisa mendapat masukan dana dari penjuru daerah, mereka kalah karena mereka anggap suksesi sebagai pertarungan gengsi dan martabat, dan mereka takut semati-matinya karena penipuan yang mereka lakukan selama ini akan terbongkar. 

Melepas PSSI bagi Nurdin Halid dan kawan-kawan adalah kuburan kusam yang menganga lebih awal dari yang mereka harapkan. Innalillahi.

Berharap, semoga hati beku dari orang-orang picik yang ingin mendjolimi PSSI bisa mencair, demi masa depan sepak bola tanah air. Demi Indonesia. 


Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.