Skip to main content

Si Tampang Pas-pasan dari Semester Dua

"Jangan banyak tingkah, loe. Udah muka pas-pasan masih aja bertingkah". Kalimat ini diucapkan oleh seorang teman kuliah pada semester satu atau dua ketika saya dan sejumlah teman lain bercengkrama keluar dari sebuah kelas siang. Saya, masih dengan muka sumringah, sempat menoleh dan beradu pandang. Tapi saya tak merisaukan ucapan teman perempuan saya itu. Dia tampak ketus dan aneh, saya biarkan saat itu. Meskipun heran tentu saja, karena saya sama sekali tak pernah mengganggu dia, tak punya masalah dengan dia sebelumnya, tak mengusik pacarnya, apalagi neneknya. Bahkan saya merasa memiliki hubungan yang sangat dekat dengan setiap pribadi di kelas itu.

Sekian tahun berlalu dan peristiwa itu masih saja membekas. Tidak, sama sekali saya tidak membenci dia apalagi untuk punya alasan mengutuk dia. Saya cuma heran, ucapan kasar seperti itu harus keluar dari mulut seseorang yang kebetulan mahasiswi,  tanpa alasan yang jelas.

Verbal bully, biasanya menunjukkan posisi si lemah dan si kuat saat konfrontasi. Praktek-praktek verbal bully sering terjadi di sekolah, kampus, rumah, atau dimana saja. Cuma kata-kata memang, tapi efeknya bisa saja dasyat. Sedewasa apa pun saya dan berapapun tahun yang sudah dilewati, buktinya saya masih mengingat kejadian janggal ini. Saya dianiaya oleh seseorang yang mungkin merasa 'lebih' dari saya. Saya bukan mau protes karena memang benar tampang saya pas-pasan. Saya juga tak sungkan mengakui kalau saya jauh dari tampan. Tapi memberi label seseorang dengan kata-kata yang menggarisbawahi ketidakberuntungannya pastilah bukan hal terpuji.

Bukan mau saya punya hidung pesek atau mata sipit atau kulit gelap, misalnya. Tuhan yang telah menyediakan. Jika seseorang menghina fisik saya, pastilah orang itu juga sedang menghina Tuhan yang sudah menciptakan saya. Saya mungkin lebih kaget karena ada yang berani menghina Tuhan saya. Jika teman saya itu mengejek karena saya bodoh, saya akan lebih santai karena kebodohan pastilah saya yang membuatnya.

Apapun. Mungkin teman saya itu sedang sensitif karena datang bulan. Katakan saja, dia cemburu melihat saya bahagia bercengkrama dengan rekan lain sementara dia bermasalah. Bukankah mestinya kita bahagia jika melihat orang lain bahagia? Sudahlah. Saya tak akan membicarakan dia lebih jauh. Saya cuma ingin terhindar dari perbuatan-perbuatan serupa yang pernah dilakukan saya itu. Saya tak mendendam. Saya justeru bersyukur, telah diingatkan agar saya memiliki rasa empati terhadap orang-orang yang tak seberuntung saya. Saya bersyukur karena telah dianggap memiliki tampang pas-pasan.

Lebih utama lagi, ternyata Tuhan tidak membuat kategori tampang dalam kitab sucinya. Untuk teman yang pernah mengusik hati saya bertahun-tahun itu, saya doakan semoga dia dimulyakan hidupnya, dijauhkan dirinya, keluarganya, dan keturunannya dari kecongkakan yang pernah dia lakukan...




Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.