Skip to main content

Apa Rencana Setelah Selesai S3?

Salah seorang mantan mahasiswa saya bertanya, setelah selesai kuliah ini, apa rencana saya. Saya jawab belum tahu, yang membuat dia kaget. "Udah kuliah jauh-jauh, masak belum tahu rencana setelah selesai mau apa?" Saya tertegun sejenak. Buru-buru saya meralat. 

Pertanyaan yang menyengat. Menyadarkan saya bahwa saya harus selalu punya rencana dan cita-cita jelas.

Sejujurnya, andai saya bebas memutuskan setelah kuliah S3 ini selesai saya mau apa, mungkin saya akan sangat bersenang hati. Nyatanya, sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi negeri yang berangkat kuliah karena beasiswa dari uang pinjaman kampus ke pihak lain, tentu diharapkan saya harus kembali ke kampus, mengabdi di sana. Keinginan untuk menjajal kemampuan mengajar atau bekerja di luar negeri mestinya dihapus.

Tentu, saya punya sejumlah ambisi pribadi, sudah saya rencanakan. Selain mengajar, misalnya, saya ingin melakukan banyak penelitian dan menulis buku. Saat ini, menjalani peran sebagai mahasiswa PhD adalah ikhtiar untuk menjadikan diri saya berkemampuan untuk menjadi peneliti dan penulis. Saya juga berkeinginan menghimpun mahasiswa untuk melakukan sebuah pemberdayaan yang bisa menguntungkan mereka dan fakultas, dan saya juga, dong.

Cita-cita yang sederhana. Sementara waktu pulang masih satu setengah tahun lagi, saya ingin mengasah kemampuan saya sebagus mungkin. Supaya bisa menjadi bekal yang baik. Selebihnya, saya serahkan pada masa depan. 

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.