Skip to main content

Citibank Meminta Maaf





Sepenuhnya saya mengerti bahwa dua kejadian yang mencoreng muka Citibank belakangan ini hanya terjadi di cabang tertentu, kota tertentu, dan tentu juga, negara tertentu: Indonesia. 

Mungkin Citibank sekarang menyesal karena telah melaporkan Inong ke kepolisian. Mereka tidak menyangka akan menjadikan peristiwa 'kecil' ini menjadi bola panas yang ternyata merongrong reputasi mereka. Andai mereka cukup menyelesaikan kasus ini secara internal, memecat Inong dan meminta perempuan itu mengembalikan uang yang diambilnya jika benar terbukti ada pencurian, maka urusan tidak seramai sekarang. Dalam hal ini, saya hanya berpikir tentang reputasi bank, bukan urusan hukum. Tapi saya percaya, dengan membuat laporan ke kepolisian, Citibank sudah mempersiapkan diri untuk membuat benteng hukum, PR, marketing, dll. Hal yang tak mereka duga, bahwa akan ada kasus kedua.

Uang saya tak sebanyak pejabat Polri atau anggota dewan yang jadi korban tante Inong Melinda. Saya mendukung langkah para korban untuk menutup mulut selama ada jaminan dari bank uang tak akan hilang dari pada jadi bumerang akan mencelakakan mereka sendiri karena seolah membuat lubang kubur untuk diri sendiri. Well, kita tahu gaji halal mereka. Jika kemudian ada uang milyaran di rekening, uang dari mana itu?

Kalau soal debt collector, masyaallah. Memang begitulah kenyataannya. Untung saya belum pernah mengalami dikejar penagih utang seperti itu. Tapi beberapa rekan saya, pernah. Ada yang mendapat ancaman dan kata-kata kasar lewat telepon, ada juga yang mendatangi kantor sambil tentu saja dengan ancaman yang bikin hati siapa pun ciut.

Citibank meminta maaf. Tidak di depan media untuk masyarakat umum, hanya untuk kalangan terbatas. Kebetulan saja saya pemegang kartu kredit emas sehingga saya mendapat surat elektronik seperti di atas. Entah kepada pemegang kartu kredit lainnya.

Mencoba berpikir arif, dua kasus yang menimpa Citibank, tentu bisa juga terjadi pada bank manapun. Selama sifat serakah ada dalam diri kita dan keinginan untuk gesek dan gesek terus kartu kredit yang kita miliki masih tinggi. 

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.