Skip to main content

Kampanye Erwin Aksa

Perhatian saya tertumpu pada sebuah iklan online di Detik.com dan Vivanews.com, seserorang bernama Erwin Aksa berniat melakukan reformasi dalam tubuh PSSI. Dia mau jadi ketua umum PSSI. Siapa dia? 

Gampang. Saya tinggal mengetikkan nama dia di Google. Voila... O, dia presiden Hipmi. O, dia juga CEO sebuah grup perusahaan besar. O, dia kelahiran tahun 1975. O, dia berasal dari Sulawesi Selatan. Banyak O yang dia buat. Tentu saja, karena mata dan telinga saya kurang begitu akrab dengan nama dia. Pasti dia orang hebat. Jadi CEO dan ketua HIPMI saja sudah dipastikan membuat dia sibuk. Jika masih mau bersibuk-sibuk di organisasi sekelas PSSI, pastilah dia orang hebat (tahan nafas...). 

Karena saya tidak tinggal di Indonesia, saya tidak tahu persis apa dia juga pasang iklan di media lain selain internet. Pertanyaan saya: untuk mencalonkan diri sebagai ketua PSSI saja harus beriklan di media, ya? Bukankah pemilik suara hanya orang-orang terntentu yang memang berkecimpung dalam organsasi persepakbolaan profesional saja?

Hmmm. Tentu saya tidak boleh terjebak dalam pola bekerja orang sekaliber dia. Sesungguhnya dan saya yakin bukan semata ingin menjadi Ketua PSSI dia beriklan. Bukan sekedar untuk menggantikan Nurdin Khalid sebagai kader partai agar bisa menguasai cabang olah raga dengan massa terbesar di tanah air itu. Saya menduga ada rencana cerdas di balik itu. Sebagai kader golkar, dia sedang menjalankan misi partai rupanya. Jika tidak mengincar kursi anggota dewan pada pemilihan nanti, mungkin juga gubernur atau bupati di Sulawesi Selatan sana. 




Orang hebat harus punya strategi. Jadi, anggap saja iklan dia yang dia pasang sebagai pemanasan untuk mencapai tujuan utama; menarik perhatian umum dan tentu saja media. Tapi, bukankah terlalu dini untuk berkampanye? Hussss, ini kampanye untuk jadi ketua PSSI, bukan untuk jadi anggota dewan.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.