Skip to main content

Casualties in Travelling: Salah Pilih Bulan

Bukan sengaja begadang, tapi karena terbangun tengah malam dan sulit tidur lagi. Namun ternyata saya patut bersyukur. Saya sedang online, tiba-tiba ada email masuk.

Kamar yang sudah saya pesan untuk beberapa malam di sebuah hostel di NYC, ternyata dibatalkan karena hostel tersebut ditutup oleh pemerintah setempat. Segera saya melakukan konfirmasi dan booking kamar di hostel lain. Alhamdulillah, masih ada kamar kosong. Padahal satu per satu hostel sudah kehabisan kamar.

Saya pikir bisa tidur lagi. Ternyata tidak. Saya kembali membuka email dan mendapati sebuah konfirmasi kedatangan dari hostel yang belum lama saya pesan. Astaga! Saya salah pilih bulan! Saya sangat tidak hati-hati. Untung ada email dari manajemen hostel tersebut, jika tidak? Segera saya cari kamar lain di hostel lain. Syukurlah masih ada meskipun dengan harga yang lebih tinggi. Well, dari pada tidak dapat sama sekali.

Begitulah. Jika hal-hal dilakukan dengan tergesa-gesa. Tentu saja saya sempat panik karena ternyata bukan satu hostel saja yang ditutup paksa, entah karena alasan apa, tapi lebih dari satu. 

Penah juga saya salah booking tiket pesawat. Waktu itu dari Manila ke Kuala Lumpur. Inginnya terbang akhir Desember, saya malah pilih akhir Januari. Begitu tiba di bandara, pihak airlines tak mau memproses tiket saya. Terpaksa harus membeli lagi. Padahl saat itu akhir tahun, puncak-puncaknya orang bepergian. Untung masih ada kursi tersisa.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.