Skip to main content

Membedah "Rintihan Kuntilanak Perawan" - Bagian 3 & 4

Mari kita lanjutkan membuat daftar cacat film ini:



Bagian 3.
Si Tete Besar berkenalan dan seorang Tokek Belang di lantai dansa. Adegan pindah ke sebuah toilet. Mereka tampak mulai melakukan hubungan intim di lantai. Si Tokek Belang sudah melorotkan celana panjangnya. Tak jelas apa yang mereka lakukan karena tiba-tiba sudah ada di luar ruang berdiri berhadapan di samping sebuah mobil. Sim salabim. Tak jelas juga mengapa sekonyong-konyong si Tokek Belang teriak sambil menatap muka seseorang berambut panjang, yang saya duga adalah si Tete Besar. Tahu-tahu si Tokek Belang lari tapi tak cuma dua langkah sudah melengking karena disabet sesuatu pungguhnya hingga berdarah. Lalu dadanya, lehernya. Tak terlihat ada luka di wajah. Si Tokek Belang mati karena dadanya ditancap hak sepatu oleh yang menyerangnya. Hebat juga, sekali injak, meskipun tanpa tekanan yang luar biasa, tapi bisa mematikan.

Ketika polisi memasukkan tubuh mati si Tokek Belang ke dalam kantong mayat siangnya, wajah lelaki itu rusak penuh pecahan kaca. Lho? Dari mana logikanya? Lebih aneh lagi ketika si Botak bercerita ke si Geulis kalau organ tubuh almarhum rusak. Heran kan? Padahal lagi, dia katakan ada kemungkinan pembunuhan itu dipicu perdagangan organ tubuh. Kok dirusak?


Bagian 4.
Si Tete Besar mulai mencari mangsa lagi. Lantai dansa penuh dengan orang dansa. Iya, dong. Masak nyuci baju? Setelah berkenalan dengan seorang lelaki culun, si Tete Besar menuju bar. Ada Keong Racun sendirian. Diskotek ini pasti siap bangkrut karena tidak banyak tamu yang pesan minuman. Bar lengang. Padahal sebelumnya diperlihatkan kalau bar berada di pinggir lantai dansa.

Keanehan lain muncul. Si Tete Besar mendekati si Keong Racun, menyapa. Tanpa bicara sepatah kata pun, Keong Racun mengeluarkan kartu nama dan memberikan pada si Tete Besar. Tete Besar lalu menyeruput minuman si Keong Racun. Catat, sedotan minuman itu mengarah ke si Tete Besar, tapi satu detik kemudian ketika frame diambil dari kamera yang dibelakangi si Keong Racun, sedotan itu mengarah ke arah yang berlainan. Tak lama si Tete Besar meletakkan dompetnya di atas kursi. Satu detik kemudian sudah ketika frame berubah, dompet sudah ada di tangan kanan. Ajaib.

Mereka keluar diskotek. Mobil meluncur ke sebuah tempat. Di sebuah tempat sunyi, mobil berhenti, lampu mati. Keong Racun, tampak membuka jaket. Ia duduk di kursi penumpang, yang berarti si Tete Besar yang menyopiri. Si Tete Besar membuka laci: ada cutter di sana. Si Keong Racun yang sudah merebahkan badannya di sandaran kursi, menjerit ketika melihat cutter diarahkan kepadanya. Kok takut?

Si Keong Racun lari sambil teriak. Si Tete Besar membuka bagasi dan mengeluarkan sebuah gergaji mekanik yang biasa digunakan oleh para penebang kayu ilegal di hutan Riau. Si Keong Racun yang tak luka tak mabuk, yang mestinya sudah lari jauh entah kemana, ternyata tak kemana-mana. Padahal si Tete Besar berjalan sangat pelan dengan sepatu hak tingginya. Ia malah beringsut menuju sebuah rumah yang pintnya terbuka. Pintu rumah terbuka pada malam hari dengan lampu menyala terang tapi tak ada orang di sana. Aneh, kan?

Maunya, bagian ini menegangkan. Tapi dengan tangan dan kaki si Keong Racun yang ujug-ujug terikat tali, saya seakan tak percaya bahwa banyak sekali unsur sulap dalam film ini. Apalagi, ketika gergaji mulai bekerja memotong badan si Keong Racun, tahu-tahu saja ada kain menutupi badan si Keong Racun.

Okay, ganti scene. Berita majalah dan koran ramai memberitakan kesuksesan Keren's Band. Ada yang lucu dari headline sebuah majalah: "The Keren's Band Sukses Mendapatkan Muri". Halloooo... Apa maksud mereka MURI? Please, deh. Bukan Muri! Lebih tepat lagi, jika mau, rekor MURI. Oh, bisa jadi plesetan. Tapi tetap saja agak kurang pas kalimatnya.

Si Geulis dan si Botak sedang membahas kesuksesan Keren's Band ketika ibu si Geulis pamit mau melayat. Si Geulis, setelah mengantar mamanya ke luar pintu, tiba-tiba melihat penampakan semacam bonek voodoo. Dia lari ke dalam rumah yang langsung di sambut si Botak. Bukannya si Botak lagi duduk di sofa? Si Botak menenangkan si Geulis: "Kamu gak perlu takut, itu hanya halusinasi kamu..." Hah, apa si Botak bisa membaca pikiran? Padahal si Geulis belum bilang-bilang dia habis melihat apa.

Ganti scene. Masih ingat si Culun dari potongan film bagian 3? Dia terlihat mengendarai motor bebek di jalanan yang sepi. Aih..., anak disko kok pake bebek? Rupanya, si Culun ini diundang oleh si Tete Besar ke rumah yang sebelumnya pernah digunakan untuk menghabisi si Keong Racun. Tanpa ba bi bu permisi, si Culun langsung saja masuk.

Mestinya rumah itu seram, tapi bagaimana bisa seram jika terang benderang dan 'bersih' meskipun dekorasi dibuat seolah rumah itu tua dan spooky? Maaf, gagal.



Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.