Skip to main content

Mimpi Pulang dan Nyaris Ditembak

Gawat. Dua kali terbangun tengah malam karena mimpi, setelah itu tak bisa tidur lagi dengan baik. 

Mimpi saya malam ini, saya lari ke atap sebuah gedung karena diuber seorang penjahat bersenjata. Di atas gedung sebetulnya sudah siap siaga sejumlah tentara Amerika yang memang sudah merencakan aksi ini untuk menangkap orang itu. Sayangnya, saya begitu pe-de bisa diselamatkan oleh para tentara itu. Begitu penjahat tiba di atap, saya tak siaga, para tentara pun sedang lengah karena penjahat tiba terlalu cepat, saya kena todong pistol. Sementara saya tak bisa memberi isyarat apa pun kepada para tentara, saya sudah pasrah akan ditembak mati oleh penjahat itu. Namun orang itu berubah pikiran. Tanpa diketahui oleh tentara, ia melarikan diri dan membiarkan diri saya tak berdaya... Terbangun, deh. 

Malam sebelumnya, mimpi saya tentang kepulangan saya ke Indonesia. Saya berada dalam pesawat yang sedang landing, tidak di Cengkareng melainkan di jalan di depan rumah Ibu saya di Bogor. Lho, memang bisa? Ah, namanya juga mimpi...

Saya rasa, rencana saya pulang dan bepergian lagi benar-benar telah mengganggu bawah sadar saya.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.