Skip to main content

New York: Siap, Grak!

Saatnya membuat daftar apa saja yang sudah saya siapkan untuk trip saya ke New York bulan depan. Visa, jelas sudah disetujui. Urusan ini yang pertama kali saya bereskan sebelum yang lain. Iyalah. Bagaimana mungkin saya bisa berkunjung ke Amerika jika visa tidak disetujui.

Jadi, begitu saya mendapat kabar dari panitia cenference bahwa abstrak saya lolos seleksi, saya segera menyiapkan karya ilmiah yang akan dipresentasikan di sana. Sambil saya juga mencari informasi mengenai pembuatan visa Amerika. Sangat bersyukur karena di Perth, ada kantor konsulat mereka. Cukup mendaftar online, membuat jadual wawancara, dan membayar pendaftaran melalui kantor pos. Ketika hari wawancara tiba, saya bawa semua dokumen yang diminta. Ternyata sangat mudah dan sederhana. Tak sampai seminggu, saya sudah menerima passport dengan sticker visa menempel di dalamnya yang dikirim langsung ke alamat rumah. Saya tercengang mendapati visa saya berjangka lima tahun.

Setelah visa di tangan, saya mulai gerilya mencari donor. Agak kecewa ketika mendapatkan edaran dari Dikti, bahwa dosen yang sedang kuliah di luar negeri tidak boleh mendapat bantuan dana untuk konferensi. Mereka tak memberi alasan rinci. Begitu juga dengan universitas tempat saya bekerja, tak memberi peluang untuk pendanaan. Namun rupanya, masih ada angin segar dari fakultas tempat saya belajar sekarang, mereka menyiapkan grant untuk bantuan conference yang nilai maksimumnya $1500. Tapi ini pun gagal karena ternyata mereka hanya menyediakan bantuan ini untuk mahasiswa tahun ketiga saja. 
Meskipun tak terlihat ada celah untuk mendapatkan dana, saya tak menyerah begitu saja. Usaha terakhir, saya bicara dengan atasan-atasan saya di fakultas tempat saya bekerja di Jakarta. Gayung bersambut. Alhamdulillah mereka bersedia membantu meskipun tidak full. Ah, saya merasa beruntung.

Jauh sebelum pendanaan jelas, saya sudah pula memesan tiket. Saya pilih tiket yang termurah dari semua tiket penerbangan yang saya temui. Kamar hotel pun demikian. Mau yang sekamar 10 orang atau 100 orang, tak peduli. Pokoknya, murah. Hahah. 

Insyaallah, semua hal yang perlu saya lakukan sudah saya kerjakan. Tinggal packing dan berlatih melakukan presentasi. Semoga apa yang saya rencanakan ini diberi ijin oleh Sang Pemberi Ijin dengan hasil yang baik pula. Amiiin...





Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.