Skip to main content

Osama O-mati

Kematian Osama bin Laden, disambut beragam pendapat. Ada yang bersuka cita, ada juga yang menghujat, hanya karena yang mematikan pria berjanggut panjang itu adalah Amerika. Entah jika yang menangkap dia itu tentara Pakistan sendiri atau bahkan Arab Saudia.

Saya tentu senang Obama telah meninggal, berharap sebagian dari kekacauan yang terjadi di muka bumi meredup. Saya memimpikan planet ini damai dan tenang. Membiarkan perang hanya ada di masa lalu. Masa kini dan nanti, mestinya kita hadapi dengan lebih kalem. 

Saya senang bukan karena kematian Osama, tapi meniadakan simbol yang identik atau diidentikkan dengan kekerasan itu berarti melumpuhkan kekuatan dari kekerasan itu sendiri. Semoga saja ancaman teror yang sempat terlontar dari para pengikut Osama tidak benar-benar terwujud. Sudahi.

Saya muslim, tapi tak gelap mata. Saya tidak memuja Amerika, tak membencinya juga; tak mengagumi negara-negara Arab, tak menghakimi mereka juga; tak setuju tak anti-Israel pula. Saya hanya salut pada pihak-pihak yang memperjuangkan perdamaian dan tak simpati terhadap siapa pun yang menyebar kebencian. Saya tak melihat agama sebagai alasan, apalagi tanah air. Damai untuk semua, untuk semua alasan. Titik. 

Osama telah mati. Terorisme mestinya mati juga. Jika ada yang gelisah dengan kelakuan dari orang-orang lain, selalu ingat: "selamatkan dirimu dan keluargamu dari api neraka". Pikirkan saja diri kalian dan keluarga kalian, tidak usah sibuk memikirkan diri orang lain dengan memaksakan kehendak bahwa orang lain harus mengikuti cara kalian hidup.

Diam-diam saya berharap, gembong-gembong kekerasan di Indonesia juga ditiadakan...

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.