Skip to main content

The Company Men

Nasib hidup seringkali penuh kejutan. Apa yang sudah kita miliki bisa tiba-tiba tercerabut dari tangan. Mengingatkan pada apa yang pernah saya alami. Pernah suatu ketika, dengan sebuah kesadaran, saya meninggalkan semua yang pernah menjadi bagian dari kebanggaan saya untuk memulai sesuatu yang baru, sekedar mendengarkan kata hati untuk mencari hal yang benar-benar sesuai dengan keinginan saya. Agak berbeda dengan film 'The Company Man', para tokoh utama di film ini menjalani nasib mereka dengan cara berbeda setelah dengan tiba-tiba mereka terkena PHK padahal perusahaan mereka dalam keadaan baik dan prestasi mereka pun sungguh memukau.

Tokoh pertama, yang termuda dari ketiganya, sibuk melamar ke sana ke mari atas dorongan istrinya, pasangan yang sangat mengerti, mendukung, dan bersahaja, yang melunakkan hati pongah sang suami untuk menyadari keadaan. Hingga tokoh ini mau melakukan pekerjaan apa pun asal bisa menopang hidup keluarga, termasuk merelakan rumah impian mereka untuk dijual dan kembali tinggal bersama orang tua.

Tokoh kedua, lelaki tua yang sesungguhnya berprestasi. Namun usia telah menghalanginya untuk mendapatkan pekerjaan yang tepat untuknya. Istrinya malah memintanya untuk terus bersandiwara karena malu sama tetangga. Tak kuat menghadapi problema yang menurutnya berat itu, ia memilih untuk menghirup gas beracun di garasi rumahnya.

Tokoh ketiga, paling berkedudukan di antara semua. Mungkin yang paling sakit hati karena pemilik perusahaan yang memecatnya adalah sahabatnya sendiri yang sejak awal membangun perusahaan dari bukan apa-apa menjadi salah satu perusaan terbesar. Ia memilih selingkungannya untuk menjadi juru pendengar setia. Hingga akhirnya ia bangkit, membangun usaha baru dari nol dengan mengumpulkan mantan-mantan karyawan dari perusahaan terdahulu untuk kemudian ia rekrut menjadi karyawannya.

Kisah kejatuhan dan kebangkitan yang menginspirasi. "I will win. Why? Because I have faith, courage, enthusiasm..."







Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.