Skip to main content

Limitless



Awalnya saya mengira akan menonton sebuah film semirip 'Crank' yang bikin sesak nafas. Namun syukurlah, 'Limitless' lebih kalem. 

Diceritakan, tentang seorang penulis novel miskin yang terus ditagih penerbitnya untuk segera menyetor karyanya. Namun ide untuk menulis itu benar-benar mampet hingga mantan pacar yang ia temui secara tak sengaja begitu prihatin. Suatu ketika, sang penulis bertemu dengan mantan adik ipar yang berbisnis pil kuat penambah daya ingat. Dari satu butir yang diberikan gratis, dalam hitungan jam penulis kita itu bisa menyelesaikan novel hingga membuat sang penerbit kaget dan terkesima.

Satu butir tidak cukup untuk bisa mendapatkan ide brilyan lain. Si Penulis berusaha mendapatkan lagi. Namun sang adik ipar ditemukan meninggal. Ternyata pil kecil transparan yang djual si adik ipar memang sangat dicari, sayang tak diperdagangkan bebas karena dilarang oleh badan pemerintah.

Beruntung, Penulis kita menemukan obat itu. Tidak satu, tapi sekantung. Dengan ratusan butir yang ia miliki, kini ia bisa menjadi manusia hebat yang bisa mengingat segala hal dalam waktu cepat. Setiap hari satu butir, maka kemampuan ia benar-benar akan 'limitless'. Maka, ambisi si Penulis bukan lagi menjadi novelis. Ia menjajal dunia bursa saham hingga bisa deal dengan perusahaan dia. Kemampuan dia berkomunikasi dengan pengetahuan yang sangat luas dan dalam, disukai banyak orang dari berbagai kalangan.

Namun masalah timbul ketika orang-orang mulai memburu dia untuk mendapatkan obat yang dia miliki. Berbagai kejadian yang membahayakan dia hadapi hingga nyaris mati, pun menyeret keterlibatan mantan pacar yang kini sudah jadi pacar kembali akibat pesona yang ia miliki. Ternyata, obat ini seperti obat-obatan pembawa nikmat pada umumnya, akan memberikan dampak kecanduan luar biasa.

Saat si Penulis berjuang antara mati dan hidup karena kena hantaman bogem dari pengejarnya dan juga sakau, ia meminum darah dari penyerangnya yang telah terinjeksi obat pintar tersebut. Akibatnya? Tak hanya hebat, si Penulis malah jadi sangat hebat.

Film yang membuat saya jadi berimajinasi untuk bisa menyelesaikan thesis dengan mudah. Andai ada yang jual obat itu...




Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.