Skip to main content

Manusia Pagi, Perlu Bekerja Pagi...

Saya memutuskan untuk istirahat sejenak dari pekerjaan sebagai field interviewer. Meskipun hanya kerja Kamis hingga akhir pekan, namun pekerjaan ini benar-benar menuntut banyak energi badan dan otak. Saya merasa perlu konsentrasi penuh ke riset PhD saya. Karena jika tidak bekerja saya tak akan memiliki uang, lalu saya melamar untuk menjadi cleaner. Puji Tuhan saya diterima. Saya bekerja dari Senin hingga Jumat, dari jam 3 sampai 7 pagi. Jika dilihat nilai dolar, pekerjaan yang baru ini tak banyak menghasilkan uang. Namun saya tak perlu menggunakan banyak energi otak, cukup fisik semata. Lagian, bangun dan kerja sedini itu pun bukan masalah buat saya. Malah bersyukur karena bisa menurunkan berat badan saya dari 85kg ke 75 kg.

Weekend ini, setiap pagi saya habiskan waktu di kampus. Saya mulai menata hati dan pikiran untuk lebih fokus pada penelitian yang terbengkalai. Jujur, meskipun akhirnya saya punya banyak waktu untuk ke kampus, ternyata tak membuat saya cukup bergairah untuk bekerja produktif. Dua hari ini, saya seperti menemukan kembali gairah yang selama ini hilang setelah saya bekerja malam.

Saya, sepertinya menemukan rahasia dari rasa malas yang melanda. Se;lesai bekerja sekitar jam 7am, saya pulang untuk tidur barang dua atau tiga jam. Kadang bahkan tak bis tidur karena anak saya rewel atau berisik sekali. Sekitar jam 10 atau 11am saya ke kampus. Berharap bisa belajar. Namun seringkali hanya melakukan hal-hal yang tidak produktif.

Saya adalah manusia pagi yang akan sangat produktif berpikir saat pagi. Itu yang sering saya lakukan selama saya belajar di Australia. Bahkan ketika saya masih bekerja di banyak perusahaan di Jakarta, saya seringkali menjadi manusia yang paling awal datang ke kantor. Sekarang saya sedang berpikir untuk meninggalkan pekerjaan mahapagi yang saya geluti. Saya mau cari pekerjaan siang, sore atau malam hari.

Mungkin benar begitu. Sehingga keputusan saya tidak keliru.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.