Skip to main content

Ketika 'Kebaikan' Harus Dimenangkan

Perang kata-kata di Twitterland sejak awal Januari antara DK dengan artis MH bukan main sensasional-nya. Tak ada yang bisa saya lakukan kecuali menonton keriuhan ini. Di tengah hiruk pikuk, muncul sosok BY yang datang dengan sebuah pengumuman mahapenting. DK yang menuduh MH tidak layak mendapat gelar doktor, justeru dituduh tidak memiliki gelar, padahal gembor-gembornya, DK ini PhD lulusan sebuah universitas tua di Belanda. Nah, lho!

Saya mulai bersiap-siap. Saya menghubungi langsung DK. Menanyakan apa yang terjadi sesungguhnya. DK mengaku pernah lulus dan berhak mendapat gelar itu. Sebagai teman, saya prihatin. Rasanya, kasihan jika dia terlibat urusan berat. Ketika dia berseteru dengan MH, saya ingatkan untuk berhenti. Kali ini, dengan BY pun saya ingatkan untuk berhenti. Tapi DK merasa benar, dia sedang difitnah, katanya. Saya tidak tinggal diam. Mulai ikut melacak lewat Google. Apa yang sebetulnya terjadi.

Tak lama, setelah BY yang telah gamblang memaparkan kebohongan DK, diserang balik oleh DK. Saya terkesiap. Akhirnya saya terpancing untuk ambil tindakan. DK gencar menuduh balik BY yang saya tahu pasti dia sedang tinggal dan bersekolah di sana, dibilang menyebar fitnah. BY, sesuai dengan tuduhan DK, tidak sedang di Belanda dan tidak sedang kuliah S3.

Saya berinisiatif untuk melerai. Tidak lagi dengan bisik-bisik, namun menyodorkan diri untuk jadi moderator. Tujuan saya satu, untuk segera mengakhiri perang. Lihat saja, gara-gara DK, MH malah seru berantem sama kawan-kawan lamanya. Besok atau lusa, jika tidak dihentikan, bisa saja perang tersulut lebih lebar.

Saya todong mereka untuk mengumpulkan bukti-bukti keberadaan mereka di almamater masing-masing berupa foto, nama supervisor riset, dan projek riset yang sedang/pernah mereka garap. BY dengan cekatan, karena memang benar, menyodorkan semua bukti. Sementara DK, meskipun 2 x 24 jam saya beri waktu, tak jua menyodorkan bukti. Well, dia menghubungi saya pake jalur pribadi. Keukeuh bahwa dia pegang ijasah, mengundang saya untuk datang ke kantornya. Segitu pentingnya-kah mempertahankan diri jika memang sudah terkepung? Menyerah, daripada binasa. Jika DK mau baik-baik menyelesaikan perkara, banyak cara mudah yang bisa diambil. Dan dia memilih binasa.

Saya, dan juga teman-teman lain yang mengenal DK sejak lama, sebetulnya tak ambil pusing dengan peristiwa ini. Saya, dan teman-teman lain, seolah hidup di dunia yang berbeda dengan dia. Kami menginjak bumi, DK di awang-awang. Saya, dan teman-teman, sepakat untuk menjaga jarak. Karena kami terlalu punya banyak bukti untuk kasus ini.

Akhirnya, semoga, perang disudahi. Tak ada lagi hingar bingar saling caci saling tuduh saling fitnah. Semoga, DK memaafkan saya. Seperti maksud saya saat memulai menjadi moderator, bukan maksud saya untuk mencelakan sesiapapun. Namun kebaikan haruslah dimenangkan. Kehilangan satu teman, bukan hal yang menyedihkan. Terutama ketika dia sudah menjadi beban.


Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.