Skip to main content

First Day at Kindie

Hari pertama Basil sekolah kemarin siang. Rada ribet karena saya punya sejumlah kegiatan lain yang jadualnya berdempetan. Untung jarak kampus ke kindie lumayan dekat.

Dari pagi saya sudah di kampus. Basil manut saja ketika saya cekoki kartun. Rencana, siangnya saya punya meeting dengan pembimbing thesis. Ada sejumlah pekerjaan yang harus saya selesaikan untuk dibahas.

Pekerjaan belum rampung, saya sudah harus ke sekolah Basil. Seharian ini dia terlihat nervous. Bangun siang, misalnya. Lalu tak mau pakai seragam. Terus bikin banyak alasan supaya tak perlu ke sekolah.

Jam 12.30 sampai 14.45 untuk hari pertama. Saya rasa itu pintar. Anak secara bertahap diperkenalkan ke suasana sekolah biar tak kaget.

Anak saya sempat nangis ketika saya tinggal. Tapi tentu saja saya harus tega. Setelah itu saya segera kembali ke kampus, melanjutkan pekerjaan yang tertunda.

Dalam seminggu ini, total saya punya meeting hingga tigs kali dengan pembimbing. Bagus benar. Biasanya susah sekali untuk bisa bertemu. Saya sedang menyekesaikan kuesioner. Rada was-was karena kuatir thesis tidak selesai dalam tiga tahun.

Dan, keasyikan meeting, waktu sekolah bubar sudah lewat. O, nooo. Saya buru-buru berkemas. Membayangkan anak itu pasti sudah pucat pasi.

Ah, untunglah segalanya baik. Sekolah Basil lancar, pekerjaan saya juga lancar.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.