Skip to main content

Badu and the 'Allah'

Ada beberapa lagu Erykah Badu yang saya pernah sangat suka. Tentu karena emang enak di dengar dan enak didendangkan. Penonton Java Jazz di Jakarta sedang kesengsem dengan penampilan si Badu ini meskipun di Malaysia, penyanyi berkulit gelap ini katanya dilarang tampil gara-gara tattoo nyentrik di dadanya berlafal 'Allah'.

Ketika kemarin saya membaca berita itu sempat terlintas akan ada gerakan protes, mungkin dari FPI, tapi ternyata tidak. Mungkin pihak-pihak yang hobby turun ke jalan tak sampai tahu berita itu, mungkin mereka pikir justeru tatto itu bagus, mungkin mereka tak perduli atau mereka sudah dikasih 'rantang' duluan. Banyak kemungkinannya. Tapi tak perlu risaukan itu, yang penting, sebuah pentas internasional yang menunjukkan Indonesia aman sudah dan akan terlaksana dengan baik.


Tattoo. Bahasa tubuh masyarakat indigenous ini makin digemari oleh banyak kalangan. Dan saya pikir karena para model dan artis dunia sering dengan bangga menunjukkan tato di sekujur tubuh mereka. Dari mulai desain ringan seperti karakter kartun hingga desain rumit dengan makna yang sulit ditebak. Lalu tiba-tiba si erykah ini memperkenalkan lafal 'Allah' pada tubuhnya. Apakah dia beragama Islam? Ternyata bukan karena itu. Alasannya, karena ia pasang semua nama tuhan dari beragam agama. Baiklah.

Lalu mengapa ulama di Malaysia risau? Mereka pikir ini penistaan agama. Saya kemudian berpikir, apa yang akan dilakukan oleh para ulama itu jika Erykah memasang tatoo Yesus? Akankah mereka juga protes?


Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.