Skip to main content

Dan Kepala Mau Pecah Rasanya

Tiba di rumah, rasanya kepala nyut-nyutan tak kira-kira. Ingin tidur tapi masih banyak pikiran. Ingin makan tapi tak lapar. Seharian ini saya sudah coba tuntaskan revisi kuesioner dan bab pertama thesis saya. Kuesioner selesai, sudah saya kirim kembali ke supervisor. Tapi dia bales baru akan dia periksa lagi hari Senin. Bab pertama masih terus saya edit. Saya harapkan bisa selesai Sabtu biar bisa saya kirim ke konsultan bahasa. Selanjutnya saya berharap untuk bisa menggarap bab lainnya.

Waktu terus berjalan dan saya tak mau lengah. Masuk semester lima ini, giliran saya untuk menulis ulang semua bab, termasuk nanti setelah kuesioner selesai, saya sebar dan menganalisa hasilnya.

Kembali ke kepala saya yang pening. Saya baru menyadari, kalau ternyata pengelola uang beasiswa saya belum membayarkan uang bayaran semester lima ini. Gemas. Bayangkan jika tiba-tiba pihak kampus menghentikan semua fasilitas yang saat ini tersedia. Repotnya. Belum lagi, pening sisa hari sebelumnya saat saya menemukan kenyataan bahwa progress report yang saya kirim sekian bulan lalu belum juga diproses sama research supervisor. Hingga semester tutup dan berganti, akhirnya progress report itu kadaluarsa dan saya diminta oleh pihak kampus untuk buat lagi yang baru, tulis tangan. Hadeuh. Hal lain yang bikin gemas, siang kemarin saya sedang dengan mood bagus menulis ulang bab satu. Tapi Basil yang saya ajak ke kampus, bikin banyak kerepotan. Dia tak bisa berhenti humming. Padahal ada satu teman seruangan yang kurang suka ada anak kecil di sana. Senewen jadinya.

Tiba di rumah, buka kembali laptop, bekerja barang sebentar, lalu ajak Basil berenang. Mendinginkan hati, mendinginkan kepala. Alhamdulillah, saya bisa tenang. Mulai buka laptop lagi, tapi Basil merengek minta ini minta itu. Ini salah itu salah. Pertanda dia mulai ngantuk. Dan saya juga. Padahal belum maghrib. Saya tarik dia ke tempat tidur, saya mulai mendongeng. Dongeng belum jelas ujungnya, saya sudah jatuh tertidur.

Lepas tengah malam, saya terbangun karena Basil minta minum. Ah, untunglah terbangun. Saya jadi bisa sholat Maghrib dan Isya.

Lalu, kantuk hilang tiba-tiba. Dan saya punya kesempatan untuk kembali bekerja mengerjakan thesis. Sedikit demi sedikit sambil terus memotivasi diri, tahun ini harus selesai.



Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.