Skip to main content

Ditodong Kepala Sekolah $3000

Mungkin hanya Tuhan yang tahu betapa kemarin itu, saya sedang dalam kondisi sangat tertekan. Ada jadual workshop, pagi hingga siang. Terus, ada meeting dengan supervisor dimana saya harus mempresetnasikan hasil pilot study. Seperti biasa, supervisor tak akan langsung puas dengan pekerjaan saya. Dia kembali minta saya mengerjakan sejumlah perhitungan SPSS. Padahal saya sudah minta sebelumnya, apa saja yang dia mau lihat. Lalu meeting lainnya yang juga tak membuat saya lega karena isu-isu yang dibahas lumayan berat.

Lalu, ke sekolah Basil. Kali ini pun saya diundang meeting sama Kepala Sekolah. Saya pikir mau bicara seragam karena sudah sejak berminggu lalu saya beli, tapi tak kunjung tiba. Ternyata, si ibu kepala sekolah langsung mengajukan angka SPP yang harus saya bayar. Kaget. Sempat hilang kata-kata. Di pertengahan semester, saya harus bayar $3000 untuk murid playgroup!

Saya tegaskan kepada si kepsek, bahwa setidaknya saya sudah mendapat tiga sumber informasi yang menyatakan tak perlu bayar uang sekolah untuk anak-anak dari mahasiswa PhD internasional: (1) student central dari kampus, (2) staf dari sekolah tempat Basil belajar, dan (3) temen-temen mahasiswa PhD dari seluruh penjuru Australia.

Saya terus terang bilang ke si ibu itu kalau saya sangat tak suka dengan cara dia menodongkan angka bayaran. Apalagi dia bilang, ada kemungkinan saya memalsukan informasi. Ih, tambah sebal saja. Saya sarankan saja dia untuk menghubungi kampus saya atau tanya informasi lebih lanjut ke departemen pendidikan Australia atau ke public school lain di Perth yang memiliki murid internasional dari orang tua yang kuliah PhD.

What a bad day. Kepala rasanya mau meledak.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.