Skip to main content

Sewa Rumah $410 per Minggu!

Lagi galau. Housemate saya tiba-tiba tak lagi akan memperpanjang kontrak rumah. Padahal akhir kontrak kurang dari dua minggu lagi. Cari rumah dalam dua minggu untuk satu keluarga bukanlah perkara mudah. Kecuali jika saya seorang diri, dalam sehari mungkin akan lebih gampang menemukan yang baru. 

Sebal. Berasa dikhianati.

Saya bertemu housemate saya ini tahun lalu, saat kami sama-sama berburu rumah. Saya perlu kamar yang bisa menampung anak dan istri juga. Cari sana-sini yang dekat kampus lumayan sulit karena tak banyak agent atau pemilih rumah membiarkan anak kecil tinggal di dalam properti mereka.

Lalu bertemulah saya dengan orang ini. Kami sama-sama membutuhkan satu sama lain. Dia seorang bapak yang umurnya mendekati 50 tahun. Tak leluasa mencari kamar kos. Katanya, dia tak suka berkumpul dengan anak-anak dua puluh tahunan. Akhirnya, kami menemukan satu apartemen dengan kamar tidur. Satu untuk dia, satu untuk saya dan keluarga. Dari awal saya sudah bilang kalau saya punya anak umur 3 tahunan (waktu itu) yang bisa saja nakal. Dia tak keberatan.

Semester pertama kami lalui dengan tingkat toleransi yang tinggi. Sempat agak menjengkelkan ketika akan perpanjang kontrak untuk semester kedua. Dia bertingkah aneh dan ribet. Hari ini bilang mau perpanjang, esokannya nggak. Hari berikutnya mau perpanjang kontrak, esokannya lagi nggak. Sampai saya bilang, with or without you, saya akan tetap perpanjang. Bayar mahal sendirian, sebodo teuing-lah. Akhirnya dia mau perpanjang.

Kali ini, tiba-tiba dia bilang mau pergi. Sok aja. Tak ada hak saya untuk menahan dia. Tapi, mungkin akan lebih indah jika dia punya rencana pergi sudah bilang saya jauh-jauh hari. Supaya saya bisa mempersiapkan diri lebih baik. Seperti yang saya katakan di muka, mencari kamar untuk sendiri, dalam sehari mungkin mudah. Tapi jika untuk keluarga apalagi dengan anak kecil beserta kami, perlu perjuangan khusus. 

Namun begitu, isteri saya tak mau ambil pusing. Dia tetap mau tinggal di rumah ini. Yeah, baiklah. Mahal, sih. $410 per minggu. Semoga saja kami tetap diberi kesehatan yang baik, supaya tetap bisa bekerja supaya bisa bayar sewa rumah yang harganya lebih mahal dari beasiswa yang saya peroleh tiap bulannya. 

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.