Skip to main content

Precious

DVD film 'Precious' ini teronggok lama di meja saya. Tapi baru pagi ini, selesai sahur di hari kedua puasa sambil menunggu subuh tiba, saya meluangkan waktu untuk menonton. Selain karena sibuk dengan thesis, hampir setiap saya TV dikuasai anak saya. 

Lima menit pertama film berjalan, saya sudah jatuh cinta. Film ini saya pastikan bakal bagus. Ternyata memang demikian. Tentang seorang remaja perempuan di daerah Harlem, berbadan bongsor, yang kesulitan mengikuti pelajaran-pelajaran di kelasnya.Misalnya, di usianya yang menginjak 16 tahun, dia belum bisa membaca. Ditambah, dia hamil!

Tak ada satu pun yang bertanya, siapa pria yang menghamili anak perempuan itu. Mungkin, kehamilan di usia remaja bukanlah berita heboh di lingkungan itu. Tapi penonton sudah disuguhi sejumlah petunjuk. Jadi, ketika pekerja sosial mencoba mencari tahu siapa, penonton sudah tak terkejut lagi. Namun film ini memang sengaja tidak banyak memberi kejutan-kejutan sepertinya, karena tentu saja jalan ceritanya sudah penuh dengan kejutan sendiri.

Sang ibu, yang saya kira ibu tiri, ternyata adalah ibu kandung. Si ibu ini tahu kalau anak perempuannya setiap kali ditiduri oleh pacarnya namun tak pernah berusaha mencegah. Si ibu ini, tak pernah juga mencegah jika sejak umur tiga tahun, anak remaja perempuan itu sudah diperlakukan tidak senonoh oleh pacarnya. Dan si ibu ini, tahu, bahwa pacarnya mengidap HIV/AIDS. Tak perlu kaget jika Precious, si anak remaja itu juga pada akhirnya terbukti terkontaminasi.

Tapi penonton tak dibiarkan meneteskan air mata karena ini bukan film untuk bersedih-sedih hati. Ini film untuk penyadaran para perempuan agar mau bangkit, selalu harus mau bangkit betapa pun berat persoalan hidup yang sedang atau akan dihadapi. Sepertinya.



Precious, ibu, dan anak pertamanya, hasil hubungan incest

Di kelas khusus, Precious mendapat teman-teman sejati

Ibu yang cemburu, membiarkan anaknya terinfeksi HIV/AIDS

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.