Skip to main content

Here Comes the Baby!

Sekitar jam 1 pagi, isteri saya uring-uringan. Ada cairan banyak yang keluar dari tubuhnya, yang tak bisa dia bendung. Ketubankah? Bukankah belum waktunya melahirkan? Buru-buru saya menelpon rumah sakit, yang menyarankan agar istri saya segera dibawa ke rumah sakit untuk diobservasi. Setelah menitipkan Basil ke housemate, pagi buta itu juga saya dan istri ke rumah sakit.
 
Kesimpulannya, benar, cairan itu adalah ketuban. Istri saya ditahan untuk pemeriksaan dan observasi lebih lanjut. Dokter yang memeriksa bilang, cuaca yang ekstrim seperti akhir-akhir ini bisa juga mempengaruhi pengalaman air ketuban. Bahkan hari itu, ada 5 orang ibu yang mengalami hal serupa. Pagi ini saya boleh pulang. Iya, saya membayangkan bagaimana Basil jika terbangun dan tak menemukan saya atau mama-nya di tempat tidur.
 
Pagi ini, saya beraktifitas seperti biasa: ke kampus. Karena darurat, saya bawa Basil ke kampus. Kami sibuk. Dan istri saya pun sibuk SMS mengabari keadaannya. Hingga siangnya, seorang Midwife - bidan - mengingatkan saya bahwa istri saya bisa saja lahir kapan saja hari ini. Hah? Saya segera berkemas ke rumah sakit.
 
Kondisi istri saya menunjukkan bahwa dia memang akan segera melahirkan. Saya perlu terus mendampingi istri karena itu yang diharapkan pihak rumah sakit juga. Tapi bingung juga bagaimana dengan Basil? Saya menelpon seorang sahabat. Dia bersedia dan bisa hadir sekitar jam 5. Saya berharap supaya dia tidak terlambat.
 
Lalu peristiwa besar itu datang. Istri saya melahirkan, secara normal, hal yang dia takutkan sebetulnya. Dan alhamdulillah, saya berada di sana menyaksikan dan menemani bagaimana perjuangan dia melahirkan. Meskipun berat si bayi sangat minor, tapi secara keseluruhan dia sehat kelihatannya. Mudah-mudahan begitu.
 
Dan yang membanggakan, Basil mau menunggu di luar kamar. Sendirian. Sahabat saya belum datang karena memang belum jam 5. Untungnya, ada sejumlah bidan yang mau mengajak Basil bermain.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.