Skip to main content

Bye Bye Twitter

Sejak Anas Urbaningrum ditetapkan jadi tersangka, nafsu saya untuk ber-twitter-an lenyap seketika. Terkahir saya twitting tanggal 23 Februari. Ada rasa kecewa, mual, marah, dan putus aja yang bercampur aduk. Aneh rasanya. Setidaknya untuk saat ini, saya mau istirahat dulu. Entah nanti kapan-kapan.

Bayangkan: dua pimpinan parpol besar; sejumlah menteri; sejumlah pimpinan daerah; sejumlah anggota DPR. Kasus Anas mungkin klimaks dari segala kekecewaan. Dan Twitter medium dimana orang bersumpah serapah. Kacau rasanya hati membayangkan negara dirampok orang-orang edan demi hawa nafsu duniawi. 

Saya sedang membayangkan memiliki tenaga super untuk bisa membabat manusis-manusia serakah itu. Kekuatan semacam telepati yang bisa mempengaruhi orang-orang itu bicara dan bertindak jujur. Tak saja bagi orang-orang yang sudah dijadikan tersangka, tapi juga mereka yang sering disebut media sebagai orang-orang lancung meskipun belum terungkap/diungkap aparat.

Bye bye Twitter. Saat ini saya memang sedang galau. Mungkin lain kali, saya akan teruskan lagi. 


Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.