Skip to main content

Kejar Tayang Thesis

Saya sempat sedih ketika riset supervisor saya menolak membaca thesis saya dan memberikan feedback hingga selesai sebelum tanggal 31 Maret. Saya merasa kerja keras saya sia-sia. Betapa tidak? Senin hingga Minggu, pagi hingga malam, pikiran dan tenaga saya kerahkan agar bisa fokus menyelesaikan thesis tepat waktu. Begitu thesis selesai, dia tak mendukung. Padahal, jika dia patuh terhadap timetable yang dia buat sendiri itu, sejak pertengahan Februari lalu mestinya thesis saya sudah selesai, seselesai-selesainya dan awal Maret lalu saya bisa serahkan ke kampus, dan sebelum tanggal 15 Maret, saya sudah berada di Jakarta.

Namun, tidak saja saya harus memperpanjang visa, tapi saya malah dianjurkan perpanjang semester! Wtf! Tentu saja saya menolak keras. Bukan saja urusan biaya kuliah dan living cost, yang saya persoalkan adalah niat baik dari riset supervisor saya itu. Hal yang saya tuntut adalah tanggung jawab dia. Jika selama ini saya sudah bekerja keras, mengapa dia tak mau bekerja keras setidaknya selama bulan Maret ini hingga thesis saya benar-benar layak uji?

Tuhan bersama saya. Pihak fakultas mendukung semangat saya untuk bisa menyelesaikan thesis sebelum deadline tiba. Dan alhamdulillah, supervisor saya akhirnya mengalah. Tentu saja, dia harus mengalah dari ego-nya. Dia harus berpikir jauh dan dalam. Tokh, dia diuntungkan juga jika akhirnya saya lulus segera. 

Insyaallah, sebelum deadline, thesis selesai dan bisa diserahkan ke pihak kampus. Semoga semesta memberi kelancaran. 

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.