Skip to main content

Perpanjang Visa

Semua urusan tiba-tiba berkumpul pada waktu yang bersamaan: mengurus visa, mencari rumah, dan ngedit thesis. Tulisan ini tentang pengurusan visa lanjutan. 

Meleset dari jadual pulang, akhirnya saya harus perpankang visa yang masa berlakuknya hanya sampai 15 Maret minggu depan. Rada mepet-mepet, karena ternyata banyak banget dokumen yang harus dipersiapkan dan tak semuanya bisa tersedia secepatnya. Belum lagi informasi yang simpang-siur perihal surat-surat apa saja yang dibutuhkan. Ketika saya baca-baca lagi formulir untuk perpanjangan visa, di sana tercantum saran agar pelamar sebaiknya menelpon dulu ke kantor imigrasi sebelum melakukan tindakan apa-apa. Akhirnya saya telpon, ternyata dokumen yang diminta tak sebanyak yang saya persiapkan. Syukurlah.

Karena jumlah anggota keluarga saya bertambah, saya tak bisa melamar online seperti pada umumnya pelamar lain. Maka, setelah semua dokumen yang diperlukan lengkap, Jumat pagi kemarin, saya poskan. Tak perlu datang kata petugas imigrasi. Tinggal menunggu kabar selanjutnya, apakah mereka perlu data tambahan atau tidak. Sampai saat ini, saya belum tahu berapa biaya yang akan mereka tagih untuk perpanjangan visa ini. 

Selain itu, saya sudah mendaftar untuk periksa kesehatan. Minggu depan, sesuai dengan jadual dari pihak klinik, saya akan ke sana untuk pemeriksaan. 

Mudah-mudahan semuanya lancar.




Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.