Skip to main content

Dua Medali dari ICOHT 2014



Hari kedua conference. Hampir saya dibuat bete oleh sopir tuk-tuk yang mengantar saya dari hotel ke tempat konferensi. Dari awal saya sudah bilang dengan jelas tujuan saya dan saya tanya apakah sopir itu tahu. Dia mengangguk. Eh, ternyata saya malah dibawa berputar keliling Colombo. Ada tiga hotel dengan nama Cinnamon di kota ini dan tiga-tiganya dia kunjungi. Bedebah. 

Ketika saya melihat tiga orang polisi di pinggir jalan, saya langsung melaporkan kelakukan sopir itu. Saya mencak-mencak. "Gue datang ke sini untuk menolong negara loe. Kenapa loe malah jahatin gue?" Begitu kira-kira saya ngomel. Sopir itu entah ngomong apa, tapi dia minta maaf setelah entah diomongin apa oleh polisi tadi. Malah dia bilang tak apa kalau saya tak bayar pun. Nggak boleh memanfaatkan situasi-lah. Saya tetap bayar sesuai argo. Malah saya mendoakan dia agar hidup dia lebih baik dari hari ini. Saya baik kan?

Hari terakhir. Saya memilih duduk di bagian belakang ruangan, sambil membuka laptop. Saya baru mendapat feedback dari research supervior untuk thesis saya. Harus segera selesai mengingat deadline akhir bulan ini. Alhamdulillah, banyak yang bisa saya kerjakan.

Di ujung kegiatan konferensi, ternyata masih ada pengumuman untuk pemilihan paper terbaik. Kemarin saya sudah dapat satu medali. Jadi saya tak berharap akan mendapatkan medali lainnya. Satu sudah lebih dari cukup menurut saya. Eh, ternyata nasib berkata lain. Paper saya terpilih sebagai paper terbaik dari seluruh peserta. Wah. Ini sangat luar biasa bagi saya. Dua medali! Satu untuk best presentation, satu untuk best paper. 

Dan tak mau buru-buru pulang ke hotel. Begitu ada ajakan untuk sekedar hang out bersama peserta konferensi lain, saya iya-kan saja. Main dengan anak-anak muda usia dua-puluh tahunan, jiwa serasa muda kembali. By the way, heran juga mereka tertarik ngajak saya main. Apa saya memang terlihat seusia mereka? 

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.