Skip to main content

Visa on Arrival Sri Lanka yang Tak on Arrival

Selagi masih di Jakarta, saya sudah browsing bagaimana mendapatkan visa ke Sri Lanka. Ternyata, kedutaan negara itu telah memberi kemudahan bagai pengunjung Indonesia, yaitu dengan memberikan Visa on Arrival (VoA). Saya memilih VoA karena tentu saja tak mau buang waktu untuk berkunjung ke kedubes Sri Lanka, selain juga emang sibuk. 

Sewaktu check in AirAsia dari bandara di Kuala Lumpur menuju Colombo, si Mbak petugas check-in meminta saya menunjukkan bukti saya sudah mendaftar dan membayar visa Sri Lanka. Saya protes, karena tidak begitu seharusnya. Well, dari pada ngotot, saya ikuti sarannya. Untung saya bawa laptop dan internet di bandara itu kencengnya seperti angin topan. Eh, ternyata, harus dicetak juga. Lagi-lagi untung, ada semacam kantor cyber yang bisa saya sewa.

Hasil print-out, saya tunjukkan ke si Mbak check in. Eh, ditolak. Katanya, harus ada identitas saya dan segala tetek bengek lainnya. Bingung, karena dari hasil daftar online dari website kedutaan Sri Lanka, hanya selembar itu saja yang didapat. Memang tak ada informasi identitas pelamar, kecuali nomor registrasi saja. Sempat menunggu beberapa menit, karena si Mbak diskusi dulu sama atasannya. Hooooh, untung si atasan pintar. Langsung saya mendapat boarding pass. 

Akhirnya selamat bisa terbang. Hal yang membingungkan, mengapa saya harus melamar visa online? Padahal jelas sangat di website boleh melamar VoA. Bahkan ketika saya tiba di bandara di Colombo, hampir semua orang asing membuat VoA. Apa karena AirAsia?

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.