Skip to main content

Mereka Tampil dengan Ciri Khas-nya





Sebagian tokoh ingin dikenal dengan outfit khas yang mereka kenakan setiap kali tampil di depan umum atau media, misalnya Jokowi (kemeja putih, lengan digulung, dan tanpa dimasukkan ke dalam celana), Dahlan Iskan (kemeja putih, lengan digulung, celana hitam, dan sepatu sport), Andy F. Noya (dasi dan lengan kemeja yang selalu digulung), dan Prabowo (kemeja krem safari). Atau Aa Gym (sorban lilit) dan Larry King (suspender). Buat mereka, tentu hal demikian dianggap penting. Mereka harus bersaing dengan tokoh-tokoh lain agar dapat diingat baik oleh masyarakat. Differensiasi. 



Mereka memang berhasil menguatkan image diri sendiri. Di kehidupan kita sehari-hari, secara sengaja maupun tidak, kita pun dapat melihat teman atau teman kerja melakukan hal yang sama dengan para tokoh yang saya sebutkan di atas. Seorang sahabat saya, tiap hari kerja menggunakan celana jeans dan batik. Sahabat yang lain, selalu berpakaian hitam, dari kemeja hingga sepatu. Saya sendiri? Tak bisa konsisten. Satu waktu, sedang mood pake khaki dan sneakers ke tempat kerja. Namun di waktu yang lain, saya ganti. Well, mood sangat mempengaruhi penampilan. Lagian, tentu saja, saya tidak punya kepentingan untuk profiling diri sendiri senekad itu. 


[Foto-foto diambil dari berbagai situs]

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.