Skip to main content

Sentul Writing Camp

Menulis mungkin mudah. Namun untuk menulis dan menghasilkan sebuah buku yang siap dan layak terbit, banyak kendalanya. Lalu karena terdesak kebutuhan dan terinspirasi oleh banyak sahabat yang sudah menerbitkan buku, saya termotivasi untuk bisa menulis buku juga. Namun karena paham sekali dengan kelemahan-kelemahan saya, akhirnya saya mencari mentor yang dapat membantu saya fokus dalam menulis dan dapat memberikan banyak masukan terhadap karya saya itu.

Bagi seorang dosen, menulis buku adalah sebuah kewajiban. Tentu hanya bagi yang berkeinginan jadi seorang profesor. Meskipun jalan untuk menjadi seorang profesor masih jauh, namun tidak ada salahnya saya sudah bersiap dari sekarang.

Alhamdulillah, setelah browsing di internet, saya menemukan writing camp. Awalnya saya tidak tahu ada kelas-kelas begini. Kebetulan waktnya pas dan didukung oleh fakultas soal pendanaannya, tiga hari ini, Kamis-Sabtu, saya dikarantina di sebuah vila di kawasan Sentul, Bogor.

Ada enam peserta yang datang dari berbagai daerah: Jakarta, Solo, dan Bontang, dengan berbagai macam profesi. Mereka punya satu tujuan: menulis dan menyelesaikan satu buku. Mendengar semangat peserta lain yang menggebu-gebu, saya ikut menggebu. 

Konon, di hari terakhir nanti, akan ada sesi presentasi hasil. Dan seseorang yang mewakili penerbit akan datang untuk menyaksikan presentasi tersebut. Jika dia tertarik, dia akan langsung bilang. Hmmm. Golden opportunity rupanya. Semoga draft buku saya nanti selesai tepat pada waktunya dan dianggap layak terbit. 

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.