Skip to main content

Sentul Writing Camp





Menengok beberapa sahabat saya, cemburu rasanya. Banyak dari mereka sudah menulis dan menerbitkan buku. Saya punya mimpi juga bisa menulis dan menerbitkannya. Usaha untuk menulis bukan sekali dua kali saja, tapi sering. Namun seringkali ide kandas tak berujung. Padahal, menghubungi penerbit itu gampang sekali. Jalan menuju penerbitan pun tidaklah sulit saya kira. Persoalannya adalah, naskah buku yang diharapkan selesai, ternyata tak selesai.

Lalu saya berharap ada seorang mentor yang bisa membantu saya menyelesaikan menulis buku. Iseng saya browsing. Voila! Ternyata banyak! Ah, saya kurang gaul selama ini. 

Memang jodoh.Ketika saya mengajukan ide untuk mengikuti sebuah writing camp yang diadakan oleh sebuah perusahaan, pihak fakultas setuju. Bahkan uang bisa cair dalam satu jam. Iyalah, karena menulis buku adalah urusan profesi dan menjadi salah satu hal yang harus dikerjakan oleh seorang dosen, mereka perlu menyediakan uang untk mendukung. Pokoknya, alhamdulillah.

Tiga hari dikarantina di sebuah vila di Sentul. Bersama beberapa peserta lain yang datang dari beberapa daerah. Mulai pagi, selesai siang. Mabok, tapi seru. Di hari terakhir, bahkan ada seseorang dari penerbit yang siap menampung naskah jadi. Eh, siapa tahu berjodoh juga. 



Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.