Skip to main content

@Gurudwara Bangla Sahib, the Sikh Temple

Penitipan sepatu


Gerbang masuk tampak dari arah dalam 

Masuk komplek temple harus pakai penutup kepala

Kolam suci

Tampak muka


Tak sengaja, ketika jalan kaki menyusuri trotoar, menemukan bangunan putih berkubah emas. Saya kira masjid. Tahunya sebuah kuil Sikh yang luas. Konon terbesar di kawasan Delhi. Setiap hari Minggu, akan sangat ramai dikunjungi para pengikut aliran Sikh. Mereka berdoa.

Untuk masuk ke kompleks kuil ini, alas kaki harus di lepas. Lalu, mengambil secarik kain untuk menutup kepala. Sebagian orang sudah mempersiapkan diri dari rumah. Tapi banyak juga yang tidak, seperti saya. Lalu, pada sebuah keranjang, telah disediakan banyak penutup kepala berbentuk segitiga atau segi empat. Saya ambil dan kenakan satu. Baunya? Hmmm. Seperti bau mentega dari di Nepal. Eh, belum pernah ke Nepal ding.

Ada sebuah kolam lebar dengan ikan-ikan emas di dalamnya. Air dalam kolam itu dianggal suci. Pemeluk Sikh yang datang ke kolam akan melakukan sebuah ritual, seperti berwudlu.

Saya sempat mampir ke dalam kuil karena penasaran. Sayang tak boleh difoto. Ada sebuah ruang dengan 'panggung' persegi di tengahnya. Sekelompok pria bernyanyi dan menabuh alat-alat musik khas India. Pengunjung duduk mengelili panggung tersebut. Ada yang ikut bernyanyi, ada juga yang hanya duduk sambil selonjoran. 


Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.