Skip to main content

Rahmat Yasin, Innalillahi...

Tadi malam sempat kaget ketika disebutkan seorang pemimpin daerah di Bogor berinisial R ditangkap tangan KPK. Rahmat Yasin, kah? Belum jelas siapa. Saya segera menelpon saudara saya di Bogor yang mengenal dekat dengan bupati itu. Beliau belum tahu beritanya. Tapi cukup melegakan saya, saudara saya tidak apa-apa.

Pagi, saya kembali mencari berita lanjutan tentang kabar penangkapan itu. Pasti. Pejabat yang dimaksud adalah sang Bupati. Sinting. Benar-benar tak dapat dipercaya.

Ada beberapa hal yang membuat saya was-was: pertama, dia Bupati Bogor. Sebagai orang yang lahir dan tinggal lama di Bogor, saya merasa memiliki kepentingan emosi-lah. Kedua, saudara saya itu salah satu teman sang pejabat waktu di SMP dan hingga saat ini masih berteman dekat. Apalagi rumah kami tak begitu jauh letaknya. Ketiga, karena saya menaruh perhatian pada kasus-kasus korupsi, siapa pun yang melakukan, pasti bikin hati greget pengen menjitak.

Dan saya nilai, si Bupati ini pasti tolol banget. Sudah tahu dia bolak-balik dipanggil KPK sebagai saksi kasus Hambalang, eh, malah nekad bikin manuver terima uang. Lagian, sebagai kepala daerah, mestinya dia punya iman setebal tembok Cina untuk tidak melakukan kecurangan karena sudah pasti jebakan akan ada dimana-mana. 

Innalillahi. Semoga saya dan keluarga dilindungi oleh Allah.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.