Skip to main content

Saatnya Menuai Benih

Saya punya banyak waktu untuk melakukan observasi setiap ruang dosen di tempat kuliah dulu di Australia, sambil membersihkan ruangan itu. Secara saya kan petugas kebersihan kampus. Ada satu dosen yang juga peneliti yang saya kagumi. Dia punya banyak paper yang terpublikasi di jurnal. Dia juga punya jadual konferensi yang dia tuju setiap tahunnya. Biasanya dia tulis pada papan tulis dalam ruangannya. 

Suatu ketika saya membaca daftar publikasi dia. Panjang bener. Saya percaya dia telah bekerja keras untuk menulis dan mempublikasikan karyanya. Dia kemudian, jadi salah satu sumber inspirasi saya. 

Lalu obrolan dengan pembimbing thesis saya. Suatu saat kami sedang membicarakan tentang siapa saja yang bakal menjadi penguji untuk thesis. Saya menyebutkan satu nama yang memang sudah terkenal di bidang yang sedang saya tulis. Nah, pembimbing saya itu bercerita kalau si tokoh yang kami bicarakan itu bangun setiap hari jam 3 pagi, untuk menulis. Jadi, jika setiap hari saya terbangun dan mulai menulis pada jam segitu, pastilah karena termotivasi oleh orang hebat itu. 

Saya tidak ingin menyia-nyiakan hidup. Seberapa pun sisa usia saya, ingin saya isi dengan terus belajar, dan berbagi ilmu. Saat sedang mengejar mimpi untuk menjadi seorang professor. Mungkin berat, mungkin masih jauh, mungkin tidak mungkin. Tapi saya sudah memulai. Sedang terus bekerja untuk meraih mimpi itu. Semoga semesta mengijinkan, memberi jalan. 

Pagi ini, satu paper selesai. Saya kirim ke sebuah konferensi. Total, ada dua paper yang selesai dan saya kirim ke konferensi yang sama di bulan Juni. Januari lalu, satu paper sudah saya presentasikan di India. Lalu, satu paper lagi sudah selesai dan kirim ke sebuah jurnal internasional. Satu abstrak saya kirim ke sebuah jurnal lain, dan satu lagi abstrak saya kirim untuk sebuah konferensi di bulan Desember. Ngap-ngapan. Tapi saya menikmati proses bersibuk-sibuk diri ini.

Kelak, insyaallah, ada waktunya untuk memetika kerja keras saya. Saat ini, saatnya menuai benih. 

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.